.quickedit{display:none;}
“KITA BERBISNIS,BERILMU,BERAMAL”

Wednesday, May 9, 2012

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM(Kritik Terhadap Kapitalisme)


Tesis Max Weber yang dipublikasikan dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” menjelaskan bahwa  “Etika Protestan” dan hubungannya dengan “semangat kapitalisme” rupanya suatu teori yang sangat menarik perhatian para ilmuwan sosial hingga sekarang (Taufik Abdullah, 1982: 4).

Menurut pengamatan Weber di  kalangan Protestan sekte Calvinis, kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan. Kerja keras ini  merupakan panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup, sehingga mereka dapat hidup lebih baik secara ekonomi.

Dengan bekerja keras serta hidup hemat dan sederhana para pengikut ajaran Calvin tidak hanya hidup lebih baik tetapi mereka mampu pula menfungsikan  diri mereka sebagai wiraswasta yang tangguh dan menjadikan diri mereka sebagai tulang punggung dari sistem ekonomi kapitalis (Mubyarto, 1991: 2). Tidak hanya sekte Calvinis yang memberikan motivasi orang untuk bergerak dalam bidang ekonomi, hampir semua agama memberikan dorongan untuk bekerja keras, berdagang atau berbisnis.


Namun persoalannya apakah dalam melakukan usaha dagang diperlukan etika? Tidakkah etika justru menghambat usaha dagangnya? Sementara dalam dunia ekonomi berlaku hukum “mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”. Untuk mendapatkan untung inilah kadang-kadang cara-cara yang tidak bermoral dilakukan. Apakah caranya itu mengakibatkan matinya usaha dagang orang lain atau tidak, bukan menjadi pertimbangan? Namun apabila etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etikia diperlukan dalam bisnis. Bukankah antara pelaku bisnis cenderung terjadi tabrakan kepentingan, saling menghalalkan cara untuk memperoleh  keuntungan sebanyak mungkin, bahkan saling mendominasi  pasar, sementara pelaku bisnis dengan modal yang pas-pasan semakin tersudutkan, yang pada akhirnya gulung tikar?

Menurut Dawam Rahardjo (1995: 32) etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi  pengambilan keputusan seseorang, atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan  dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik (Dawam Rahardjo, Ibid: 16). Hal ini tidak hanya di Dunia Timur, di Dunia Barat atau negara-negara industri maju, citra bisnis tidak selalu baik. Setidak-tidaknya seperti yang dikatakan oleh Withers (Ibid.) bahwa dalam bisnis itu pada dasarnya berasaskan ketamakan, keserakahan, dan semata-mata berpedoman kepada pencarian laba.

Benar apa yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb (Quraish Shihab, 1997: 4), bahwa bisnis atau kegiatan ekonomi merupakan aktivitas pertama yang menanggalkan etika, disusul kemudian oleh politik, dan  terakhir seks.

Dalam tulisan ini akan mengkaji praktek madzhab ekonomi dunia, yakni kapitalisme di Amerika Serikat apakah bermoral atau tidak? Bagaimana kritik Marx terhadap praktek kapitalisme tersebut, bagitu kritik non-Marxis? Lantas bagaimana Islam melihat praktek kapitalisme tersebut? Dan bagaimana etika bisnis dalam Islam?

Islam dijadikan alat kritik terhadap praktek kapitalisme dengan asumsi bahwa perkembangan ilmu ekonomi sejak abad XVII sampai sekarang mengalami perubahan paradigma, dari paradigma merkantilis, fisiokrat, klasik, neo-klasik, marxian, keynesian, dan yang terakhir paradigma Syari’ah (Muhammad Arif, 1985: 92-94).

Praktek Kapitalisme di Amerika

Kapitalisme, diperkenalkan oleh Karl Marx sekitar abad 19—seorang pendiri komunis—(Wallace C. Peterson, 1997: 1) adalah suatu sistem produksi yang didasarkan pada hubungan antara kapital dengan tenaga kerja. Pemilik modal (kapital) memiliki hak penuh terhadap apa yang dimiliki. Maka dalam kapitalisme ada individual ownership, market economy, competition, and profit (W. Ebenstein, 1980: 148-151). Kepemilikan pribadi (misalnya alat-alat produksi, tanah, perusahaan, dan sumber daya alam), sistem pasar adalah sistem yang dipakai sebagai dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan di pasar dalam kapitalisme

Dalam dunia ekonomi peran modal sangatlah besar, bahkan pemilik modal bisa menguasai pasar serta menentukan harga dalam rangka mengeruk keuntungan yang besar. Industrialisasi bisa berjalan dengan baik kalau melalui kapitalisme. Fernand Braudel pernah menyatakan bahwa “kaum kapitalis merupakan spekulator dan pemegang monopoli yang berada dalam posisi untuk memperoleh keuntungan besar tanpa menanggung banyak resiko” (Yoshihara 
 Kunio, 1990: 3).

Bagaimana sistem ekonomi Amerika Serikat?  Amerika menganut sistem perusahaan bebas, sebagaimana model kapitalisme klasik, yakni   kebebasan berusaha dan kebebasan pasar. Kapitalisme  menghendaki peranan pemerintah dalam mengatur dunia usaha dapat diminimalkan.  Akan tetapi Amerika dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru pemerintah melakukan campur tangan dalam ekonomi. Intervensi pemerintah dalam rangka untuk menciptakan stabilitas keamanan merupakan bagian dari sistem perekonomiannya (Richard, 1995: 168-170). Roda ekonomi nasional dapat berjalan dengan baik kalau ada jaminan keamanan dari pemerintah. Rasa aman adalah hak yang paling mendasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Dalam masyarakat yang mengakut sistem kapitalisme, persaingan yang bebas dalam menjajakan produksi adalah sesuatu yang sangat prinsip. Pemerintah berkewajiban menjaga prinsip ini, dengan menciptakan suasana yang kondusif bagi persaingan bebas. Maka intervensi pemerintah dalam rangka menjaga sistem ekonomi yang berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, tidak adanya kekerasan pada hak-hak dasar. Kalau suatu usaha bisnis hanya menguntungkan  dan memperkaya pemimpin negara, dan birokrat pemerintah, sementara rakyatnya tidak sejahtera maka hal itu tidaklah bermoral.

Bentuk intervensi pemerintah Amerika Serikat adalah dalam hal: (a) memberikan tunjangan bagi orang-orang yang tidak mampu bersaing di pasar bebas karena sakit, dan tidak memiliki ketrampilan; (b) menyediakan barang-barang dan jasa yang diperlukan untuk masyarakat umum, misalnya jalan untuk memperlancar arus transportasi barang dagangan, kereta api untuk mengangkut barang dagangan dalam jumlah yang besar, kemudian polisi untuk memberikan rasa aman bagi pelaku bisnis; ( c ) mengontrol siklus ekonomi, dengan cara jika ekonomi melemah pemerintah melakukan penguatan permintaan, dan jika ekonomi menguat pemerintah melakukan pengereman; (d) melakukan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan dengan cara menegakkan hukum kepada siapapun yang melanggar dalam melakukan usaha ekonomi; dan (e) meminta pajak usaha dari para pelaku ekonomi. Pajak ini nantinya dikembalikan lagi kepada masyarakat umum dalam bentuk pelayanan dan jasa (Richard, Ibid.: 170-173).

Kritik Marxis dan Non-Marxis terhadap Kapitalisme Amerika

1. Kritik Marxis terhadap Kapitalisme Amerika

Karl Marx adalah pelopor dari The Marxian Paradigm menjadi The Neo-Classical Paradigm. Paradigma ini menekankan pada mikro ekonomi dalam konteks pasar ekonomi bebas (Muhamamd Arif, op.cit.,: 93). Selain itu Karl Marx adalah orang yang menolak pandangan Adam Smith dan para pengikutnya yang menganggap bahwa kapitalisme sebagai suatu yang permanen bagi kehidupan masyarakat. Marx melihat bahwa kapitalisme hanyalah sebagai tahap transisi menuju pada suatu masyarakat dimana hak kepemlikan kekayaan tidak ada. Marx percaya bahwa kapitalisme menyembah kesucian self-interest tanpa mempunyai kepedulian terhadap self-respect manusia. Cita-cita Marx adalah meniadakan kapitalisme dengan menciptakan negara sosialis dimana hak kepemilikan pribadi tidak ada, dengan 
menciptakan masyarakat tanpa kelas (Ibid.: 93-94).

Berpijak dari cita-cita Karl Marx tersebut,  dapat dipahami kalau ia mengkritik praktek kapitalisme di Amerika Serikat. Kritik Marxis adalah;

a)  Sistim kapitalisme mengeksploitasi buruh, karena buruh (tenaga kerja) dibayar dengan murah, jauh dari nilai produksi yang dihasilkan. Hal ini tidak bermoral, karena hanya memeras tenaga orang lain untuk memperkaya diri sendiri, karenanya kapitalisme harus diganti dengan sosialisme, yang pada akhirnya nanti menjadi komunisme penuh (Richard, Ibid.: 174). Untuk memeras tenaga kerja tersebut, para kapitalis mengatur sistem upah kepada buruh, selain serendah mungkin upah yang diterima, buruh disuruh bekerja 12 jam perhari, bukan 10 jam. Kalau menggunakan perhitungan produk, tiap satu jam buruh harus dapat menghasilkan barang 5 atau 4 buah, dan kalau biasanya hanya dapat menghasilkan 3 buah barang maka harus ditingkatkan menjadi 4 buah barang. Ciri lain dalam kapitalisme yang dikritik oleh Marx adalah mengeksploitasi tenaga kerja wanita bahkan anak-anak, dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarganya.

b)  Sistim kapitalisme membuat orang terasing dari proses sosial ekonomi. Pekerja atau buruh dipisahkan dengan produk yang mereka buat, dari proses produksi yang utuh dan lain sebagainya. Bahkan mereka tidak perlu mengatahui tujuan dari produk yang dikerjakan. Manusia hanyalah bagian kecil dari sebuah sistem (Ibid.: 177-179). Dalam sistem kapitalis menurut Marx, benda atau barang-barang produksi mendominasi manusia. Hal ini dapat diilihat dalam praktek kapitalisme misalnya di industri otomotif, dan elektronik, manusia hanya mengetahui sedikit dari proses produksi secara utuh. Kalau mereka dipekerjakan di bagian perakitan televisi, radio atau motor misalnya, hanya mengerjakan sesuai dengan job yang diberikan, sehingga mereka tidak mengetahui pekerjaan yang lain.

c)  Dalam sistem kapitalisme, ekonomi dan politik negara hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat orang-orang tertentu, yakni para kapitalis/vested interest (Ibid.: 179-180). Orang kaya dan para kapitalis akan semakin kaya dan terus memupuk kapitalnya semakin besar, sementara rakyat tetap saja miskin, penghasilannya rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Richard menggambarkan perbedaan penghasilan, ada yang berpenghasilan 1.000,000 US $ pertahun, sementara yang lain berpenghasilan 10.000 US $ pertahun. Menurut Rawls, keadilan akan menjadi kenyataan kalau kesempatan berusaha terbuka untuk semuanya. Padahal  dalam sistem kapitalisme, membuka lubang yang besar untuk menjadi konglomerat. Mereka dapat menguasai suatu produk dari hulu sampai hilir, dan dapat leluasa mengambil alih perusahaan lain yang sedang kolap. Tidaklah heran dalam sistem ini seorang kapitalis menguasai saham mayoritas dalam beberapa jenis usaha, misalnya properti, agrobisnis, perhotelan, transportasi, perbankan, perkapalan dan teknologi informasi.

2.  Kritik Non-Marxis terhadap Kapitalisme Amerika

Walaupun Marxis sangat vokal dalam mengkritik praktek kapitalisme di Amerika, namun bukanlah satu-satunya pengkritik. Ada gelombang non-Marxis yang memberikan kritik kepada kapitalisme Amerika, paling tidak ada tiga titik fokus kritik, yakni:

a)  Kapitalisme menciptakan kebutuhan hidup yang sia-sia, boros dan salah tidak sesuai sasaran hidup manusia. Pola dan gaya hidup mewah serta standart hidup yang tinggi mengakibatkan muncul kekhawatiran berkurangnya sumber daya alam dan sumber daya lain yang tidak dapat dibeli dari negara lain (Richard, Ibid.: 180).

b)  Kapitalisme menyokong tumbuh suburnya industri militer, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dengan negara-negara lain. Tujuan akhir dari industri militer dalam perspektif ekonomi adalah terjualnya produk-produk senjata. Senjata akan terjual kalau ada ketegangan dan perang, tanpa ada peperangan senjata tidak akan laku (Ibid.: 181-182). Sehubungan dengan ini banyak tuduhan negatif yang dialamatkan kepada pemerintah; (1)  karena pemerintah menarik pajak dari rakyat hanya untuk memproduksi alat-alat perang; (2) industri militer akan berkembang kalau ada perang; dan (3) industri militer telah mengambil alih kedaulatan rakyat dan pemerintah dalam kendali industri militer, yang sesungguhnya adalah milik kapitalis.

c)  Kapitalisme menciptakan ketidakadilan, karena hanya akan memberikan peluang kepada para kapitalis dan menindas rakyat umum sebagai tenaga kerja. Pola hubungan industrial diarahkan pada pola hubungan borjuis dan proletar, majikan dan budak, manajer dan buruh. Akibatnya yang kaya akan semakin kaya, yang miskin terus berada dalam lembah kemiskinan (Ibid.: 182).

Kritikan dari kalangan Marxis dan Non-Marxis tersebut tidaklah seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Buktinya, para penganut madzhab kapitalisme memberikan bantahan atau jawaban balik terhadap kritikan tentang praktek kapitalisme di Amerika. Ada tiga bantahan, yaitu:

a)  Kapitalisme itu memberikan kebebasan dan efisiensi. Kebebasan bersaing kepada pelaku bisnis tentang kualitas produk yang dipasarkan, dan mendorong pemerintah untuk bersikap adil, tidak korup dalam melihat realitas yang berlangsung dalam kebebasan bersaing di pasar (Ibid.: 183-184).

b)  Kapitalisme di Amerika menggairahkan dunia perekonomian dengan mendorong meningkatkan kualitas produksi, meningkatkan produktifitas kerja, dan memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat. Mereka yang bekerja keras akan mendapatkan upah yang banyak, sementara yang malas bekerja tidak akan mendapatkan upah sesuai dengan produktifitas kerja. Persaingan dalam dunia kerja semakin ketat, maka orang akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya (Ibid.: 185-186).

c)  Kapitalisme di Amerika memberikan tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih baik, dibandingkan dengan sistem sosialis (Ibid.: 186-187).

Ada kritik yang pedas dari Marxis dan non-Marxis, ada bantahan dari pengikut kapitalisme, namun ada juga bersikap moderat, yakni kelompok yang berani keluar dari kapitalisme dan sosialisme dengan menawarkan solusi baru. Kapitalisme yang dipraktekkan di Amerika adalah kapitalis klasik yang tidak lepas dari intervensi pemerintah  dan menciptakan kapitalis-kapitalis yang semakin menggurita dalam berbisnis, namun juga tidak dapat menerika praktek sosialisme yang hanya berada dalam alam gagasan saja. Kelompok moderat ini adalah;

a)  Libertarianisme. Paham ini menginginkan adanya sebuah kekebasan murni dalam berbisnis, dengan cara pemerintah tidak perlu melakukan intervensi. Kebebasan yang murni akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya (Ibid.: 188-190).

b)  Workers Democracy. Paham ini hampir sama dengan libertarianisme yakni pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dalam bidang ekonomi,  sehingga akan tercipta keadilan dalam persaingan bebas di pasar. Selain itu dunia usaha tidak dimonopoli oleh para kapitalis, para pekerja yang ikut membesarkan perusahaan diikutsertakan memiliki perusahaan tersebut (Ibid.: 190-191). Dalam kapitalisme pekerja tidak mungkin dapat memiliki saham di perusahaan, maka alternatif ini memberikan peluang kepada pekerja untuk dapat memiliki perusahaan dengan cara membeli saham secara bebas dan transparan.

Praktek Kapitalisme di Indonesia

            Apakah Indonesia  menganut sistem ekonomi kapitalisme? Jawabannya pasti tidak. Sistem ekonomi yang dibangun Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila, yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan dengan sistem koperasi. Koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia, yang diabadikan dalam undang-undang. Namun rupanya idealitas, ya tinggal idealitas, tidak dapat diwujudkan dalam suatu kenyataan yang kuat. Prakteknya ternyata tetap menggunakan sistem kapitalisme, yang oleh Yoshihara Kunio  dikatakan dengan kapitalisme semu atau “Ersazt Capitalism”.

           Salah satu ciri sistem kapitalisme adalah upah rendah dan proteksi dari pemerintah. Tenaga kerja Indonesia termasuk yang paling murah di Asia Tenggara, sementara waktu atau jam kerjanya tergolong tinggi dengan tingkat kesejahteraan kurang dari cukup. UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimun Profinsi) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum dapat memberikan jaminan kesejahteraan buruh. Buktinya demontrasi buruh sering terjadi di perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi.
  
          Praktek kapitalisme kedua adalah proteksi pemerintah kepada pada pengusaha. Artinya pemerintah melakukan intervensi ke dalam dunia usaha dengan membuat undang-undang atau peraturan-peraturan. Maksud dari setiap peraturan adalah baik, karena ingin melindungi dunai usaha dari praktek-praktek usaha yang tidak adil. Namun kadang justru memberikan keleluasaan para pengusaha untuk mengembangkan usahanya, bahkan sampai pada tingkat monopoli usaha dari hulu sampai hilir.

            Di bawah ini beberapa pengusaha besar Indonesia yang mendapat lisensi atau fasilitas dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya, antara lain:

1.  Arnold Baramuli. Kelompok Poleko yang dibangun bersama pengusaha lain  memproduksi serat sintesis. Departemen Dalam Negeri adalah pemilik kelompok usaha ini, dan Baramuli hanyalah pengelolanya. Menurut Yoshihara (1990: 245), yang pasti tanpa kaitan dengan Departemen Dalam Negeri, Baramuli tidak akan berhasil dalam bisnis.

2.  Probosutedjo. Ia menjadi pengusaha besar karena pada awalnya mendapatkan lisensi dari pemerintah Orde Baru untuk mengimpor cengkeh, kayu gelondongan, dan mendapatkan preferensi khusus proyek-proyek pemerintah. Bendera Mertju Buana yang dikerek untuk mewadahi bisnis dalam bidang perakitan mobil, manfaktur barang pecah belah, perkebunan, real estate dan agribisnis semakin besar pada masa Orde Baru, mengingat ia saudara laki-laki dari Soeharto.

3.  Sudwikatmono. Ia bersama Liem Sioe Liong membangun kerajaan bisnis dalam tepung terigu dan semen. Melalui PT Subentra Multi Petrokimia memperoleh kontrak dari pemerintah untuk membangun sebuah komplek petrokimia (Ibid.: 255)

4.  Putera-puteri Soeharto. Semua menjadi pengusaha papan atas di Indonesia karena mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbisnis. Tomy dengan Sirkuit Sentul, BPPC dan Mobil Timornya. Mbak Tutut dengan Jalan Tol dan BCA-nya, begitu juga  Bambang Triatmojo dengan berbagai macam usahanya (Ibid.: 254-255)

5.  Bob Hasan. Ayah angkat Bob Hasan adalah Gatot Subroto, yang sejak dahulu kenal dekat dengan Soeharto. Ia mendapat konsesi-konsesi kayu gelondongan dari pemerintah. Bisnisnya menjadi besar karena mendapatkan kemudahan-kemudahan dari pemerintah. Ia juga disebut “raja hutan” karena memonopoli perdagangan kayu gelondongan.

6.  Sudono Salim atau Liem Sioe Liong. Hubungannya erat dengan Soeharto, sehingga mendapatkan berbagai macam fasilitas dari pemertintah, monopoli cengkeh, tepung dan lain-lain. Usahanya merambah ke dunia perbankan, semen, tekstil, baja dan mobil (Ibid.: 327)
Nama-nama kapitalis Indonesia di atas baru sebagian saja yang disebutkan. Mereka menjadi besar karena  keterlibatan pemerintah dalam memberikan kemudahan-kemudahan, sehingga mereka dalam kendali penguasa. Kebijakan ekonomi pemerintah dapat berjalan lancar karena di back up oleh mereka. Pemerintah dan para kapitalis saling membutuhkan dan saling menarik manfaat. Kapitalis dapat hancur karena pemerintah, dan pemerintah juga dapat hancur karena kapitalis.

Kritik Islam terhadap Kapitalisme

Kalau kelompok Marxis dan non-Marxis  telah memberikan kritik bahwa praktek kapitalisme itu tidak bermoral, serta ada kelompok moderat yang memberikan solusi alternatif dari kapitalisme dan sosialisme, lantas bagaimana dengan Islam? Kapitalisme mengakui adanya kepemilikan individual, dan sosialisme tidak mengakui adanya kepemilikan individual, lantas bagaimana dengan Islam? Di bawah ini akan dijelaskan beberapa point yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, adalah sebagai berikut:

1.  Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang dipercaya sebagai khalifah, yaitu mengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia (Q.S. al-Anam/6: 175; Hud/11: 61). Untuk manusia diberi kemampuan lebih dibanding makhluk-makhluk lain. Amanat itu nantinya akan diminta pertanggungjawabannya (Q.S. al-Qiyamah/75: 36) di muka mahkamah Ilahi. Untuk dapat memakmurkan dunia, Allah menciptakan bumi, langit dan  alam seisinya diperuntukkan kepada manusia (Q.S. Luqman/31: 20; al-Jasiyah/45: 13)  untuk dinikmati secara baik dan merata sehingga manusia akan sejahtera secara ekonomi. Namun Islam melarang melakukan eksploitas sumber daya alam secara berlebihan, lebih-lebih hanya untuk diiinya sendiri, yang nantinya hanya akan mengakibatkan kerusakan alam semesta (Q.S. al-Syuara/26: 183).

2.  Memanfaatkan potensi alam dan bekerja bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk mencari keridhaan Allah. Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja keras dan beramal shaleh, hasil dari pekerjaan untuk dimanfaatkan sebaik-baik dalam kerangka ibadah kepada Allah (Q.S. al-Kahfi/18: 110). Maka harta benda yang dimiliki seseorang dari hasil kerja keras tersebut tidak akan menimbulkan hak-hak istimewa. Tidaklah tepat bahwa kekayaan berarti suatu kemuliaan dan kemiskinan merupakan kehinaan di mata Allah. Kemuliaan seseorang bukan terletak pada kekayaannya yang berlimpah ruah, dan kemiskinan yang papa melainkan terletak pada tingkat ketakwaannya.

Oleh karenanya Allah adalah pemilik mutlak atas segala-galanya. Harta benda bukanlah milik pribadi (kapitalisme) dan bukan pula milik bersama (sosialisme) melainkan milik Allah. Manusia hanya dititipi atau diberi amanah untuk membelanjakan harta benda tersebut sesuai dengan aturan atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemilik harta yaitu Allah. Harta benda adalah anugerah dari Allah kepada manusia untuk dinikmati dan diurus dengan baik, maka manusia hanya berhak untuk mengelola dan menikmati saja. Selain itu sifat kepemilikan harta benda atau kekayaan oleh manusia itu hanya sementara, sebatas usia manusia di dunia. Kalau manusia meninggal dunia maka harta benda tersebut harus segera dibagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Hal ini tidak ada dalam madzhab ekonomi kapitalisme dan sosialisme.

           Islam melarang menumpuk-numpuk harta benda dan tidak menafkahkannya atau menelantarkannya. Islam tidak menginginkan adanya penumpukkan harta benda tanpa difungsikan sebagaimana mestinya, karena hal ini dapat mematikan roda perekonomian. Penumpukkan harta benda (barang dagangan) dengan maksud supaya terjadi kelangkaan barang di pasar, sehingga harga akan tinggi, dapat  menimbulkan kesengsaraan,penderitaan rakyat sangat dilarang oleh Islam.

من احتكر حكرة يريد أن يغلي بها على المسلمين فهو خاطئ (رواه مسلم)
Barangsiapa yang menumpuk-numpuk suatu barang sedang dia bermaksud
hendak menjualnya dengan mahal terhadap kaum muslimin,
maka dia itu bersalah

Rasa cinta yang berlebihan terhadap harta benda sangat dikutuk, karena itu dapat menjadi sumber yang menimbulkan rasa tamak dan kikir. Riba dilarang dalam Islam karena ia merupakan faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan. Terkonsentrasinya kekayaan pada orang-orang tertentu atau penimbunan barang merupakan sesuatu yang tidak adil dan merupakan kejahatan, karena menimbulkan kerugian produksi, konsumsi dan perdagangan (Mustaq Ahmad: 2001: 72).

Dalam kapitalisme berlaku hukum mengeksploitasi tenaga kerja, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak dengan upah yang rendah. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi equality antara laki-laki dan perempuan. Upah atau gaji yang diberikan kepada mereka bukan karena status kelaminnya, melainkan kualitas kerjanya, لها ماكسبت وعليها مااكتسبت . Manusia bekerja sesuai dengan kapasitas beban yang ada dalam diri manusia. Seluruh hidupnya tidak hanya untuk bekerja, melainkan juga untuk beribadah, istirahat dan bermasyarakat. Islam tidak hanya memperbolehkan dan mendorong segala bentuk kerja produktif, tetapi Islam menyatakan bahwa bekerja keras bagi seorang muslim adalah suatu kewajiban (Ibid.:18). Penghargaan   kerja keras ini sebagaimana tertera dalam hadis yang artinya:
 Seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak (H.R. Bukhari dan Muslim)
 Barangsiapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka diwaktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya
(H.R. Thabrani dan Baihaqi)
فإذا فرغت فانصب (الم نشرح:7)
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.(Q.S. Alam Nasyrah/94: 7)

Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian dia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan yang baru dinamai faragh (Quraish Shihab: 1997: 6). Kata fanshab dalam ayat tersebut berarti berat/letih, maka orang yang bekerja itu pasti letih dan pekerjaan itu sesuatu yang berat, namun kalau dikerjakan dalam rangka untuk mencari ridha dan ibadah kepada Allah, keletihan dan beratnya pekerjaan tidak menjadi persoalan prinsip.

Kalau dalam kapitalisme yang dipraktekkan di Amerika itu menimbulkan pola dan gaya hidup yang mewah sehingga terjadi pemborosan, itu tidak dibenarkan dalam Islam. Islam menekankan keseimbangan dalam membelanjakan harta benda, tidak boleh boros tetapi tidak boleh kikir. Ada keseimbangan antara  hak dan kewajiban, kepentingan pribadi dan kepentingan umum, kebutuhan jasmani dan rohani. Selain itu dalam kapitalisme walaupun ada unsur keadilan, tetapi kenyataan tidak adil karena intervensi pemerintah yang begitu besar dalam mengarahkan roda perekonomiannya. Islam sangat menganjurkan bertindak adil, dengan memberikan kesempatan kepada umatnya untuk bekerja keras kemudian bertawakkal kepada Allah. Hasil dari kerja keras itu sebagian didermakan kepada orang lain yang membutuhkan. Dalam dunia bisnis, tenaga kerja harus diperhatikan kesejahteraannya, makannya, kesehatannya  sebagaimana perhatian manajer kepada dirinya sendiri. Hal ini tidak terjadi dalam kapitalisme, karena tidak mungkin buruh akan makan sekualitas majikannya. Sampai-sampai Nabi Muhammad Saw menegaskan kewajiban majikan terhadap buruh-buruhnya atau karyawannya seperti yang diturukan oleh Ali bin Abi Thalib yang artinya:
 Wahai sekalian manusia! Ingatlah Allah, Ingatlah Allah, dalam agamamu dan amanatmu sekalian. Ingatlah Allah, Ingatlah Allah, berkenaan dengan  orang-orang yang berada di  bawah kekuasaanmu. Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian seperti yang kamu pakai. Dan janganlah kamu bebani mereka dengan beban yang yang mereka tidak sanggup menanggungnya. Sebab sesungguhynya mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti halnya diri kamu sekalian sendiri. Awas barangsiapa bertindak dzalim kepada mereka, maka akulah musuhnya di hari kiamat, dan Allah adalah Hakimnya

Etika Bisnis dalam Islam: Solusi yang Berkeadilan

Apakah dalam bisnis diperlukan etika atau moral? Jawabannya sangat diperlukan dalam rangka untuk melangsungkan bisnis secara teratur, terarah dan bermartabat. Bukanlah manusia adalah makhluk yang bermartabat?

Islam sebagai agama yang telah sempurna sudah barang tentu memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi, istilah al-tijarah, al-baiu, tadayantum dan isytara (Muhammad dan Lukman Fauroni, 2002: 29) yang disebutkan dalam al-Quran sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha atau perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tetap harus berada dalam rambu-rambu tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang dapat diteladani dalam berbisnis, misalnya:

 1.  Kejujuran.
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi (Barmawie Umary, 1988: 44). Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan sebenarnya, walaupun terasa pahit untuk disampaikan.

Sifat jujur atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah, walaupun disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah barang mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan. Dalam dunia bisnis pada umumnya kadang sulit untuk mendapatkan kejujuran. Laporan yang dibuat oleh akuntan saja sering dibuat rangkap dua untuk mengelak dari pajak.

يأيها الذين امنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين #
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur (Q.S. al-Taubah: 119)

والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون #
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amant (yang dipikulnya) dan janjinya (Q.S. al-Muminun: 8)

Rasulullah Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok makanan. Beliau masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukannya basah. Beliau bertanya: Apakah ini hai penjual? Dia berkata Itu meletakannya di atas agar orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan dia kelompok kami (Quraish Shihab, Ibid.: 8).

 2.  Keadilan

Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan.   Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Quran memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.

واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
 (الإسراء:35)
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Isra: 35)

Dalam ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 yang artinya:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”

Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka (wail). Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.

3. Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini persoalan muamalah dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram adalah persoalan prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang yang haram, misalnya alkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar dilarang dalam Islam (Muhammad dan R.Lukman F, op.cit.: 136-138).
Di bawah ini tabel tentang prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam, adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Prinsip Halal dan Haram

No.
Prinsip Halal dan Haram
1.
2.

3.

4.

5.

6.
7.
8.
9.
10.
11.
Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
Untuk membuat absah dan untuk melarang adalah hak Allah semata.
Melarang yang halal dan menbolehkan yang haram sama dengan syirik.
Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang haram adalah yang dilarang.
Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
Yang haram terlarang bagi siapapun.
Keharusan menetukan adanya pengecualian.

    Sumber: Lihat Muhammad dan R. Luman Faurani, Visi Al-Quran Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 132. Lihat juga Choril Fuad Yusuf, Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global, dalam Ulumul Quran, No. 3/V/1997, hlm. 16.

 Secara umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Nilai-nilai dasar etika bisnis dalam Islam adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas. Semua ini akan lebih mudah dipahami dalam bentuk tabel berikut ini:

Tabel 2
Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami

Nilai Dasar
Prinsip Umum
Pemaknaan
Tauhid
Kesatuan dan Integrasi









Kesamaan
nIntegrasi antar semua bidang kehidupan, agama, ekonomi, dan sosial-politik-budaya.
nKesatuan antara kegiatan bisnis dengan moralitas dan pencarian ridha Allah.
nKesatuan pemilikan manusia dengan pemilikan Tuhan. Kekayaan (sebagai hasil bisnis) merupakan amanah Allah, oleh karena itu didalam kekayaan terkandung kewajiban sosial.

nTidak ada diskriminasi diantara pelaku bisnis atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama.
Khilafah
Intelektualitas





Kehendak Bebas



Tanggungjawab dan Akuntabilitas
nKemampuan kreatif dan konseptual pelaku bisnis yang berfungsi membentuk, mengubah dan mengembangkan semua potensi kehidupan alam semesta menjadi sesuatu yang konkret dan bermanfaat.
nKemampuan bertindak pelaku bisnis tanpa paksaan dari luar, sesuai dengan parameter ciptaan Allah.

nKesediaan pelaku bisnis untuk bertang gungjawab atas dan mempertanggung jawabkan tindakannya.
Ibadah
Penyerahan Total
nKemampuan pelaku bisnis untuk mem bebaskan diri dari segala ikatan penghambaan manusia kepada ciptaan nya sendiri (seperti kekuasaan dan kekayaan).
nKemampuan pelaku bisnis untuk men jadikan penghambaan manusia kepada Tuhan sebagai wawasan batin sekaligus komitmen moral yang berfungsi mem berikan arah, tujuan dan pemaknaan terhadap aktualisasi kegiatan bisnisnya.
Tazkiyah
Kejujuran






Keadilan






Keterbukaan
nKejujuran pelaku bisnis untuk tidak mengambil keuntungan hanya untuk dirinya sendiri dengan cara menyuap, menimbun barang, berbuat curang dan menipu, tidak memanipulasi barang dari segi kualitas dan kuantitasnya.

nKemampuan pelaku bisnis untuk men ciptakan keseimbangan/moderasi dalam transaksi  (mengurangi timbangan) dan membebaskan penindasan, misalnya riba dan memonopoli usaha.

nKesediaan pelaku bisnis untuk meneri ma pendapat orang lain yang lebih baik dan lebih benar, serta menghidupkan potensi dan inisiatif yang konstruktif, kreatif dan positif.
Ihsan
Kebaikan bagi orang lain





Kebersamaan
nKesediaan pelaku bisnis untuk memberi kan kebaikan kepada orang lain, misalnya penjadwalan ulang, menerima pengembalian barang yang telah dibeli, pembayaran hutang sebelum jatuh tempo.

nKebersamaan pelaku bisnis dalam membagi dan memikul beban sesuai dengan kemampuan masing-masing, kebersamaan dalam memikul tanggung jawab sesuai dengan beban tugas, dan kebersamaan dalam menikmati hasil bisnis secara proporsional.
       Sumber: M.A. Fattah Santoso, Etika Bisnis: Perspektif Islam, dalam Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001, hlm. 213-214.

 4.  Tidak Ada Unsur Penipuan
     Penipuan atau al-tadlis / al-ghabn sangat dibenci oleh Islam, karena hanya akan merugikan orang lain, dan sesungguhnya juga merugikan dirinya sendiri. Apabila seseorang menjual sesuatu barang, dikatakan bahwa barang tersebut kualitasnya sangat baik, kecacatan yang ada dalam barang disembunyikan, dengan maksud agar transaksi dapat berjalan lancar. Tetapi setelah terjadi transaksi, barang sudah pindah ke tangan pembeli, ternyata ada cacat dalam barang tersebut. Berbisnis yang mengandung penipuan sebagai titik awal kehancuran bisnis tersebut.

Penutup

Praktek kapitalisme di Amerika Serikat yang mengeksploitasi tenaga kerja dengan upah yang rendah adalah suatu tindakan yang tidak bermoral. Manusia harus dihargai sesuai dengan kualitas kerja, dan mereka harus diletakkan sebagai mitra perusahaan bahkan menjadi aset penting dari perusahaan. Manusia tidaklah tepat kalau diletakkan sebagai unsur terkecil dari keseluruhan proses produksi, sehingga mereka tidak dapat mengoptimalkan kemampuannya. Mereka hanya dapat bekerja sesuai dengan jobnya masing-masing tanpa mengetahui pekerjaan lain yang menjadi jaringan dari proses produksinyanya. Praktek semacam itu selain dikritik oleh Marxis dan non-Marxis, juga oleh ajaran Islam. Islam tidak membenarkan adanya kepemilihan individual yang mengakibatkan mereka menguasai kekayaan. Islam juga tidak membenarkan kepemilikan bersama, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Orang yang bekerja keras lebih berhak membelanjakan kekayaan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Mereka yang malas bekerja tidak akan mempunyai hak yang penuh atas harta benda orang lain, mereka hanya berhak untuk menerima derma, infak, sadaqah dan zakat. Kepemilikan harta benda mutlak hak Allah semata. Manusia hanya diberi wewenang untuk mengelola dan menikmati sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt.

Islam menawarkan etika bisnis yang berkeadilan dengan berlandaskan pada keteladanan Rasulullah Saw dalam berbisnis, baik pada waktu sebelum diangkat menjadi Rasul maupun setelah menjadi Rasul. Al-Quran memberikan nilai dasar dan prinsip-prinsip umum dalam melakukan bisnis.

Mulai sekarang dan selanjutnya  Islam sangat tepat dijadikan rujukan dalam berbisnis, karena didalamnya menjunjung tinggi prinsip kejujuran, keadilan, kehalalan dan tanggungjawab yang betumpu pada nilai-nilai tauhid.

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Quran dan Terjemahnya. 1985. Jakarta: Departemen Agama RI.
  • Abdullah, Taufik (ed.),. 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
  • Ahmad, Mustaq. 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  • Ebenstein, W. 1980. Todays Ism. New Jersey: Prentice Hall.
  • Kunio, Yoshihara. 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
  • Maryadi dan Syamsuddin (ed.),. 2001. Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta: Muhamamdiyah University Press.
  • Mubyarto dkk.1991. Etos Kerja dan Kohesi Sosial. Yogyakarta: Aditya Media.
  • Muhammad dan R.Lukman Faurani. 2002. Visi Al-Quran Tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah.
  • Peterson, Wallace C. 1997. Capitalism, dalam Internet Microsoft, Encarta 97 Encyclopedia 1993-1996.
  • Rahardjo, Dawam. 1995. Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II, dalam Prisma, No. 2. Jakara: LP3ES.
  • Richard T, De George.  1995. Business Ethics, Ed. 4. New Jersey: Printice Hall.
  • Shihab, Muhammad Q. 1997. Etika Bisnis dalam Wawasan Al-Quran, dalam Ulumul Quran, No.3/Tahun V.
  • Yusuf, Choirul F. 1997. Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global, dalam Ulumul Quran, No. 3/Tahun V. 
*) Dosen Fakultas Agama Islam UMS

No comments:

Post a Comment

Print Postingan