Tesis Max Weber
yang dipublikasikan dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”
menjelaskan bahwa “Etika Protestan” dan hubungannya dengan “semangat
kapitalisme” rupanya suatu teori yang sangat menarik perhatian para ilmuwan
sosial hingga sekarang (Taufik Abdullah, 1982: 4).
Menurut
pengamatan Weber di kalangan Protestan sekte Calvinis, kerja keras adalah
suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan. Kerja keras
ini merupakan panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup,
sehingga mereka dapat hidup lebih baik secara ekonomi.
Dengan bekerja
keras serta hidup hemat dan sederhana para pengikut ajaran Calvin tidak hanya
hidup lebih baik tetapi mereka mampu pula menfungsikan diri mereka
sebagai wiraswasta yang tangguh dan menjadikan diri mereka sebagai tulang
punggung dari sistem ekonomi kapitalis (Mubyarto, 1991: 2). Tidak hanya sekte
Calvinis yang memberikan motivasi orang untuk bergerak dalam bidang ekonomi,
hampir semua agama memberikan dorongan untuk bekerja keras, berdagang atau
berbisnis.
Namun persoalannya apakah dalam melakukan usaha dagang diperlukan etika? Tidakkah etika justru menghambat
usaha dagangnya? Sementara dalam dunia ekonomi berlaku hukum “mendapatkan
untung yang sebesar-besarnya”. Untuk mendapatkan untung inilah kadang-kadang
cara-cara yang tidak bermoral dilakukan. Apakah caranya itu mengakibatkan
matinya usaha dagang orang lain atau tidak, bukan menjadi pertimbangan? Namun
apabila etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa
yang benar dari apa yang salah, maka etikia diperlukan dalam bisnis. Bukankah
antara pelaku bisnis cenderung terjadi tabrakan kepentingan, saling
menghalalkan cara untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, bahkan
saling mendominasi pasar, sementara pelaku bisnis dengan modal yang
pas-pasan semakin tersudutkan, yang pada akhirnya gulung tikar?
Menurut Dawam Rahardjo (1995: 32) etika bisnis beroperasi pada tiga
tingkat, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individual, etika
bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang, atas tanggungjawab
pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada
tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan
dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem,
seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika
tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika.
Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan,
kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku
bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang
sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya
maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan
manajemen konflik (Dawam Rahardjo, Ibid: 16). Hal ini tidak hanya di
Dunia Timur, di Dunia Barat atau negara-negara industri maju, citra bisnis
tidak selalu baik. Setidak-tidaknya seperti yang dikatakan oleh Withers (Ibid.)
bahwa dalam bisnis itu pada dasarnya berasaskan ketamakan, keserakahan, dan
semata-mata berpedoman kepada pencarian laba.
Benar apa
yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb (Quraish Shihab, 1997: 4), bahwa bisnis atau
kegiatan ekonomi merupakan aktivitas pertama yang menanggalkan etika, disusul
kemudian oleh politik, dan terakhir seks.
Dalam tulisan ini akan mengkaji praktek madzhab ekonomi dunia, yakni
kapitalisme di Amerika Serikat apakah bermoral atau tidak? Bagaimana kritik Marx terhadap
praktek kapitalisme tersebut, bagitu kritik non-Marxis? Lantas bagaimana Islam
melihat praktek kapitalisme tersebut? Dan bagaimana etika bisnis dalam Islam?
Islam
dijadikan alat kritik terhadap praktek kapitalisme dengan asumsi bahwa
perkembangan ilmu ekonomi sejak abad XVII sampai sekarang mengalami perubahan
paradigma, dari paradigma merkantilis, fisiokrat, klasik, neo-klasik, marxian,
keynesian, dan yang terakhir paradigma Syari’ah (Muhammad Arif, 1985: 92-94).
Praktek
Kapitalisme di Amerika
Kapitalisme,
diperkenalkan oleh Karl Marx
sekitar abad 19—seorang pendiri komunis—(Wallace C. Peterson, 1997: 1) adalah
suatu sistem produksi yang didasarkan pada hubungan antara kapital dengan
tenaga kerja. Pemilik modal (kapital) memiliki hak penuh terhadap apa yang
dimiliki. Maka dalam kapitalisme ada individual ownership, market economy,
competition, and profit (W. Ebenstein, 1980: 148-151). Kepemilikan
pribadi (misalnya alat-alat produksi, tanah, perusahaan, dan sumber daya alam),
sistem pasar adalah sistem yang dipakai sebagai dasar pertukaran barang dan
jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan di pasar
dalam kapitalisme
Dalam dunia ekonomi peran modal sangatlah besar, bahkan pemilik modal bisa
menguasai pasar serta menentukan harga dalam rangka mengeruk keuntungan yang
besar. Industrialisasi
bisa berjalan dengan baik kalau melalui kapitalisme. Fernand Braudel pernah
menyatakan bahwa “kaum kapitalis merupakan spekulator dan pemegang monopoli
yang berada dalam posisi untuk memperoleh keuntungan besar tanpa menanggung
banyak resiko” (Yoshihara
Kunio, 1990: 3).
Bagaimana sistem ekonomi Amerika Serikat? Amerika menganut sistem perusahaan
bebas, sebagaimana model kapitalisme klasik, yakni kebebasan
berusaha dan kebebasan pasar. Kapitalisme menghendaki peranan pemerintah
dalam mengatur dunia usaha dapat diminimalkan. Akan tetapi Amerika dalam
kenyataannya tidaklah demikian, justru pemerintah melakukan campur tangan dalam
ekonomi. Intervensi pemerintah dalam rangka untuk menciptakan stabilitas
keamanan merupakan bagian dari sistem perekonomiannya (Richard, 1995: 168-170).
Roda ekonomi nasional dapat berjalan dengan baik kalau ada jaminan keamanan
dari pemerintah. Rasa aman adalah hak yang paling mendasar yang harus dipenuhi
oleh pemerintah. Dalam masyarakat yang mengakut sistem kapitalisme, persaingan
yang bebas dalam menjajakan produksi adalah sesuatu yang sangat prinsip.
Pemerintah berkewajiban menjaga prinsip ini, dengan menciptakan suasana yang
kondusif bagi persaingan bebas. Maka intervensi pemerintah dalam rangka menjaga
sistem ekonomi yang berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, tidak
adanya kekerasan pada hak-hak dasar. Kalau suatu usaha bisnis hanya
menguntungkan dan memperkaya pemimpin negara, dan birokrat pemerintah,
sementara rakyatnya tidak sejahtera maka hal itu tidaklah bermoral.
Bentuk
intervensi pemerintah Amerika Serikat adalah dalam hal: (a) memberikan
tunjangan bagi orang-orang yang tidak mampu bersaing di pasar bebas karena
sakit, dan tidak memiliki ketrampilan; (b) menyediakan barang-barang dan jasa
yang diperlukan untuk masyarakat umum, misalnya jalan untuk memperlancar arus
transportasi barang dagangan, kereta api untuk mengangkut barang dagangan dalam
jumlah yang besar, kemudian polisi untuk memberikan rasa aman bagi pelaku
bisnis; ( c ) mengontrol siklus ekonomi, dengan cara jika ekonomi melemah
pemerintah melakukan penguatan permintaan, dan jika ekonomi menguat pemerintah
melakukan pengereman; (d) melakukan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan
dengan cara menegakkan hukum kepada siapapun yang melanggar dalam melakukan
usaha ekonomi; dan (e) meminta pajak usaha dari para pelaku ekonomi. Pajak ini
nantinya dikembalikan lagi kepada masyarakat umum dalam bentuk pelayanan dan
jasa (Richard, Ibid.: 170-173).
Kritik Marxis dan Non-Marxis terhadap
Kapitalisme Amerika
1. Kritik
Marxis terhadap Kapitalisme Amerika
Karl Marx
adalah pelopor dari The Marxian Paradigm menjadi The Neo-Classical
Paradigm. Paradigma ini menekankan pada mikro ekonomi dalam konteks pasar
ekonomi bebas (Muhamamd Arif, op.cit.,: 93). Selain itu Karl Marx adalah
orang yang menolak pandangan Adam Smith dan para pengikutnya yang menganggap
bahwa kapitalisme sebagai suatu yang permanen bagi kehidupan masyarakat. Marx
melihat bahwa kapitalisme hanyalah sebagai tahap transisi menuju pada suatu
masyarakat dimana hak kepemlikan kekayaan tidak ada. Marx percaya bahwa
kapitalisme menyembah kesucian self-interest tanpa mempunyai kepedulian
terhadap self-respect manusia. Cita-cita Marx adalah meniadakan
kapitalisme dengan menciptakan negara sosialis dimana hak kepemilikan pribadi
tidak ada, dengan
menciptakan masyarakat tanpa kelas (Ibid.: 93-94).
Berpijak dari cita-cita Karl Marx tersebut, dapat dipahami kalau ia
mengkritik praktek kapitalisme di Amerika Serikat. Kritik Marxis adalah;
a) Sistim kapitalisme mengeksploitasi
buruh, karena buruh (tenaga kerja) dibayar dengan murah, jauh dari nilai
produksi yang dihasilkan. Hal ini tidak bermoral, karena hanya memeras tenaga
orang lain untuk memperkaya diri sendiri, karenanya kapitalisme harus diganti
dengan sosialisme, yang pada akhirnya nanti menjadi komunisme penuh (Richard,
Ibid.: 174). Untuk memeras tenaga kerja tersebut, para kapitalis mengatur
sistem upah kepada buruh, selain serendah mungkin upah yang diterima, buruh
disuruh bekerja 12 jam perhari, bukan 10 jam. Kalau menggunakan perhitungan
produk, tiap satu jam buruh harus dapat menghasilkan barang 5 atau 4 buah, dan
kalau biasanya hanya dapat menghasilkan 3 buah barang maka harus ditingkatkan
menjadi 4 buah barang. Ciri lain dalam kapitalisme yang dikritik oleh Marx
adalah mengeksploitasi tenaga kerja wanita bahkan anak-anak, dengan alasan
untuk membantu perekonomian keluarganya.
b) Sistim kapitalisme membuat orang
terasing dari proses sosial ekonomi. Pekerja atau buruh dipisahkan dengan
produk yang mereka buat, dari proses produksi yang utuh dan lain sebagainya.
Bahkan mereka tidak perlu mengatahui tujuan dari produk yang dikerjakan.
Manusia hanyalah bagian kecil dari sebuah sistem (Ibid.: 177-179). Dalam sistem
kapitalis menurut Marx, benda atau barang-barang produksi mendominasi manusia. Hal ini dapat diilihat dalam praktek
kapitalisme misalnya di industri otomotif, dan elektronik, manusia hanya
mengetahui sedikit dari proses produksi secara utuh. Kalau mereka dipekerjakan
di bagian perakitan televisi, radio atau motor misalnya, hanya mengerjakan
sesuai dengan job yang diberikan, sehingga mereka tidak mengetahui pekerjaan
yang lain.
c) Dalam sistem kapitalisme, ekonomi
dan politik negara hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat orang-orang tertentu,
yakni para kapitalis/vested interest (Ibid.: 179-180). Orang kaya
dan para kapitalis akan semakin kaya dan terus memupuk kapitalnya semakin
besar, sementara rakyat tetap saja miskin, penghasilannya rendah dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Richard menggambarkan perbedaan
penghasilan, ada yang berpenghasilan 1.000,000 US $ pertahun, sementara yang
lain berpenghasilan 10.000 US $ pertahun. Menurut Rawls, keadilan akan menjadi
kenyataan kalau kesempatan berusaha terbuka untuk semuanya. Padahal dalam
sistem kapitalisme, membuka lubang yang besar untuk menjadi konglomerat. Mereka
dapat menguasai suatu produk dari hulu sampai hilir, dan dapat leluasa
mengambil alih perusahaan lain yang sedang kolap. Tidaklah heran dalam sistem
ini seorang kapitalis menguasai saham mayoritas dalam beberapa jenis usaha,
misalnya properti, agrobisnis, perhotelan, transportasi, perbankan, perkapalan
dan teknologi informasi.
2. Kritik Non-Marxis terhadap
Kapitalisme Amerika
Walaupun
Marxis sangat vokal dalam mengkritik praktek kapitalisme di Amerika, namun
bukanlah satu-satunya pengkritik. Ada gelombang non-Marxis yang
memberikan kritik kepada kapitalisme Amerika, paling tidak ada tiga titik fokus
kritik, yakni:
a) Kapitalisme menciptakan kebutuhan
hidup yang sia-sia, boros dan salah tidak sesuai sasaran hidup manusia. Pola
dan gaya hidup mewah serta standart hidup yang tinggi mengakibatkan muncul
kekhawatiran berkurangnya sumber daya alam dan sumber daya lain yang tidak
dapat dibeli dari negara lain (Richard, Ibid.: 180).
b) Kapitalisme menyokong tumbuh
suburnya industri militer, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan
ketegangan-ketegangan baru dengan negara-negara lain. Tujuan akhir dari
industri militer dalam perspektif ekonomi adalah terjualnya produk-produk
senjata. Senjata akan terjual kalau ada ketegangan dan perang, tanpa ada peperangan
senjata tidak akan laku (Ibid.: 181-182). Sehubungan dengan ini banyak
tuduhan negatif yang dialamatkan kepada pemerintah; (1) karena pemerintah
menarik pajak dari rakyat hanya untuk memproduksi alat-alat perang; (2)
industri militer akan berkembang kalau ada perang; dan (3) industri militer
telah mengambil alih kedaulatan rakyat dan pemerintah dalam kendali industri
militer, yang sesungguhnya adalah milik kapitalis.
c) Kapitalisme menciptakan
ketidakadilan, karena hanya akan memberikan peluang kepada para kapitalis dan
menindas rakyat umum sebagai tenaga kerja. Pola hubungan industrial diarahkan
pada pola hubungan borjuis dan proletar, majikan dan budak, manajer dan buruh.
Akibatnya yang kaya akan semakin kaya, yang miskin terus berada dalam lembah
kemiskinan (Ibid.: 182).
Kritikan
dari kalangan Marxis dan Non-Marxis tersebut tidaklah seluruhnya benar dan
tidak seluruhnya salah. Buktinya, para penganut madzhab kapitalisme memberikan
bantahan atau jawaban balik terhadap kritikan tentang praktek kapitalisme di
Amerika. Ada tiga bantahan, yaitu:
a) Kapitalisme itu memberikan kebebasan
dan efisiensi. Kebebasan bersaing kepada pelaku bisnis tentang kualitas produk
yang dipasarkan, dan mendorong pemerintah untuk bersikap adil, tidak korup
dalam melihat realitas yang berlangsung dalam kebebasan bersaing di pasar (Ibid.:
183-184).
b) Kapitalisme di Amerika menggairahkan
dunia perekonomian dengan mendorong meningkatkan kualitas produksi,
meningkatkan produktifitas kerja, dan memberikan jaminan kesejahteraan
masyarakat. Mereka yang bekerja keras akan mendapatkan upah yang banyak,
sementara yang malas bekerja tidak akan mendapatkan upah sesuai dengan produktifitas
kerja. Persaingan dalam dunia kerja semakin ketat, maka orang akan berlomba-lomba
meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya (Ibid.: 185-186).
c) Kapitalisme di Amerika memberikan
tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih baik, dibandingkan dengan sistem
sosialis (Ibid.: 186-187).
Ada kritik
yang pedas dari Marxis dan non-Marxis, ada bantahan dari pengikut kapitalisme,
namun ada juga bersikap moderat, yakni kelompok yang berani keluar dari
kapitalisme dan sosialisme dengan menawarkan solusi baru. Kapitalisme yang
dipraktekkan di Amerika adalah kapitalis klasik yang tidak lepas dari
intervensi pemerintah dan menciptakan kapitalis-kapitalis yang semakin
menggurita dalam berbisnis, namun juga tidak dapat menerika praktek sosialisme
yang hanya berada dalam alam gagasan saja. Kelompok moderat ini adalah;
a) Libertarianisme. Paham ini menginginkan adanya
sebuah kekebasan murni dalam berbisnis, dengan cara pemerintah tidak perlu
melakukan intervensi. Kebebasan yang murni akan dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat pada umumnya (Ibid.: 188-190).
b) Workers Democracy. Paham ini hampir sama dengan
libertarianisme yakni pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dalam bidang
ekonomi, sehingga akan tercipta keadilan dalam persaingan bebas di pasar.
Selain itu dunia usaha tidak dimonopoli oleh para kapitalis, para pekerja yang
ikut membesarkan perusahaan diikutsertakan memiliki perusahaan tersebut (Ibid.:
190-191). Dalam kapitalisme pekerja tidak mungkin dapat memiliki saham di
perusahaan, maka alternatif ini memberikan peluang kepada pekerja untuk dapat
memiliki perusahaan dengan cara membeli saham secara bebas dan transparan.
Praktek
Kapitalisme di Indonesia
Apakah Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme? Jawabannya pasti
tidak. Sistem ekonomi yang dibangun Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila,
yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan dengan sistem koperasi. Koperasi sebagai
soko guru ekonomi Indonesia, yang diabadikan dalam undang-undang. Namun rupanya
idealitas, ya tinggal idealitas, tidak dapat diwujudkan dalam suatu kenyataan
yang kuat. Prakteknya ternyata tetap menggunakan sistem kapitalisme, yang oleh
Yoshihara Kunio dikatakan dengan kapitalisme semu atau “Ersazt
Capitalism”.
Salah satu ciri sistem kapitalisme adalah upah rendah dan proteksi dari
pemerintah. Tenaga kerja Indonesia termasuk yang paling murah di Asia Tenggara,
sementara waktu atau jam kerjanya tergolong tinggi dengan tingkat kesejahteraan
kurang dari cukup. UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimun Profinsi)
yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum dapat memberikan
jaminan kesejahteraan buruh. Buktinya demontrasi buruh sering terjadi di
perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi.
Praktek kapitalisme kedua adalah proteksi pemerintah kepada pada pengusaha.
Artinya pemerintah melakukan intervensi ke dalam dunia usaha dengan membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan. Maksud dari setiap peraturan adalah
baik, karena ingin melindungi dunai usaha dari praktek-praktek usaha yang tidak
adil. Namun kadang justru memberikan keleluasaan para pengusaha untuk
mengembangkan usahanya, bahkan sampai pada tingkat monopoli usaha dari hulu
sampai hilir.
Di bawah ini beberapa pengusaha besar Indonesia yang mendapat lisensi atau
fasilitas dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya, antara lain:
1. Arnold Baramuli. Kelompok Poleko
yang dibangun bersama pengusaha lain memproduksi serat sintesis.
Departemen Dalam Negeri adalah pemilik kelompok usaha ini, dan Baramuli hanyalah
pengelolanya. Menurut Yoshihara (1990: 245), yang pasti tanpa kaitan dengan
Departemen Dalam Negeri, Baramuli tidak akan berhasil dalam bisnis.
2. Probosutedjo. Ia menjadi pengusaha
besar karena pada awalnya mendapatkan lisensi dari pemerintah Orde Baru untuk
mengimpor cengkeh, kayu gelondongan, dan mendapatkan preferensi khusus
proyek-proyek pemerintah. Bendera Mertju Buana yang dikerek untuk mewadahi
bisnis dalam bidang perakitan mobil, manfaktur barang pecah belah, perkebunan,
real estate dan agribisnis semakin besar pada masa Orde Baru, mengingat ia
saudara laki-laki dari Soeharto.
3. Sudwikatmono. Ia bersama Liem Sioe
Liong membangun kerajaan bisnis dalam tepung terigu dan semen. Melalui PT
Subentra Multi Petrokimia memperoleh kontrak dari pemerintah untuk membangun
sebuah komplek petrokimia (Ibid.: 255)
4. Putera-puteri Soeharto. Semua
menjadi pengusaha papan atas di Indonesia karena mendapatkan berbagai kemudahan
dalam berbisnis. Tomy dengan Sirkuit Sentul, BPPC dan Mobil Timornya. Mbak Tutut
dengan Jalan Tol dan BCA-nya, begitu juga Bambang Triatmojo dengan
berbagai macam usahanya (Ibid.: 254-255)
5. Bob Hasan. Ayah angkat Bob Hasan
adalah Gatot Subroto, yang sejak dahulu kenal dekat dengan Soeharto. Ia
mendapat konsesi-konsesi kayu gelondongan dari pemerintah. Bisnisnya menjadi
besar karena mendapatkan kemudahan-kemudahan dari pemerintah. Ia juga disebut
“raja hutan” karena memonopoli perdagangan kayu gelondongan.
6. Sudono Salim atau Liem Sioe Liong.
Hubungannya erat dengan Soeharto, sehingga mendapatkan berbagai macam fasilitas
dari pemertintah, monopoli cengkeh, tepung dan lain-lain. Usahanya merambah ke
dunia perbankan, semen, tekstil, baja dan mobil (Ibid.: 327)
Nama-nama
kapitalis Indonesia di atas baru sebagian saja yang disebutkan. Mereka menjadi
besar karena keterlibatan pemerintah dalam memberikan
kemudahan-kemudahan, sehingga mereka dalam kendali penguasa. Kebijakan ekonomi
pemerintah dapat berjalan lancar karena di back up oleh mereka. Pemerintah dan
para kapitalis saling membutuhkan dan saling menarik manfaat. Kapitalis dapat
hancur karena pemerintah, dan pemerintah juga dapat hancur karena kapitalis.
Kritik Islam
terhadap Kapitalisme
Kalau
kelompok Marxis dan non-Marxis telah memberikan kritik bahwa praktek
kapitalisme itu tidak bermoral, serta ada kelompok moderat yang memberikan
solusi alternatif dari kapitalisme dan sosialisme, lantas bagaimana dengan
Islam? Kapitalisme mengakui adanya kepemilikan individual, dan sosialisme tidak
mengakui adanya kepemilikan individual, lantas bagaimana dengan Islam? Di bawah
ini akan dijelaskan beberapa point yang dapat menjawab pertanyaan tersebut,
adalah sebagai berikut:
1. Islam menegaskan bahwa manusia
adalah makhluk yang dipercaya sebagai khalifah, yaitu mengemban amanat Allah
untuk memakmurkan kehidupan di dunia (Q.S. al-An’am/6: 175; Hud/11: 61). Untuk
manusia diberi kemampuan lebih dibanding makhluk-makhluk lain. Amanat itu
nantinya akan diminta pertanggungjawabannya (Q.S. al-Qiyamah/75: 36) di muka
mahkamah Ilahi. Untuk dapat memakmurkan dunia, Allah menciptakan bumi, langit
dan alam seisinya diperuntukkan kepada manusia (Q.S. Luqman/31: 20;
al-Jasiyah/45: 13) untuk dinikmati secara baik dan merata sehingga
manusia akan sejahtera secara ekonomi. Namun Islam melarang melakukan eksploitas
sumber daya alam secara berlebihan, lebih-lebih hanya untuk diiinya sendiri,
yang nantinya hanya akan mengakibatkan kerusakan alam semesta (Q.S. al-Syu’ara/26:
183).
2.
Memanfaatkan
potensi alam dan bekerja bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk mencari
keridhaan Allah. Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja keras dan beramal
shaleh, hasil dari pekerjaan untuk dimanfaatkan sebaik-baik dalam kerangka
ibadah kepada Allah (Q.S. al-Kahfi/18: 110). Maka harta benda yang dimiliki
seseorang dari hasil kerja keras tersebut tidak akan menimbulkan hak-hak
istimewa. Tidaklah tepat bahwa kekayaan berarti suatu kemuliaan dan kemiskinan
merupakan kehinaan di mata Allah. Kemuliaan seseorang bukan terletak pada
kekayaannya yang berlimpah ruah, dan kemiskinan yang papa melainkan terletak
pada tingkat ketakwaannya.
Oleh
karenanya Allah adalah pemilik mutlak atas segala-galanya. Harta benda bukanlah
milik pribadi (kapitalisme) dan bukan pula milik bersama (sosialisme) melainkan
milik Allah. Manusia hanya dititipi atau diberi amanah untuk membelanjakan
harta benda tersebut sesuai dengan aturan atau undang-undang yang telah
ditetapkan oleh pemilik harta yaitu Allah. Harta benda adalah anugerah dari
Allah kepada manusia untuk dinikmati dan diurus dengan baik, maka manusia hanya
berhak untuk mengelola dan menikmati saja. Selain itu sifat kepemilikan harta
benda atau kekayaan oleh manusia itu hanya sementara, sebatas usia manusia di
dunia. Kalau manusia meninggal dunia maka harta benda tersebut harus segera
dibagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Hal
ini tidak ada dalam madzhab ekonomi kapitalisme dan sosialisme.
Islam melarang menumpuk-numpuk harta benda dan tidak menafkahkannya atau
menelantarkannya. Islam tidak menginginkan adanya penumpukkan harta benda tanpa
difungsikan sebagaimana mestinya, karena hal ini dapat mematikan roda
perekonomian. Penumpukkan harta benda (barang dagangan) dengan maksud supaya
terjadi kelangkaan barang di pasar, sehingga harga akan tinggi, dapat
menimbulkan kesengsaraan,penderitaan rakyat sangat dilarang oleh Islam.
من احتكر
حكرة يريد أن يغلي بها على المسلمين فهو خاطئ (رواه مسلم)
“Barangsiapa
yang menumpuk-numpuk suatu barang sedang dia bermaksud
hendak menjualnya dengan mahal terhadap kaum muslimin,
maka dia itu bersalah”
Rasa cinta
yang berlebihan terhadap harta benda sangat dikutuk, karena itu dapat menjadi
sumber yang menimbulkan rasa tamak dan kikir. Riba dilarang dalam Islam karena
ia merupakan faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan. Terkonsentrasinya
kekayaan pada orang-orang tertentu atau penimbunan barang merupakan sesuatu
yang tidak adil dan merupakan kejahatan, karena menimbulkan kerugian produksi,
konsumsi dan perdagangan (Mustaq Ahmad: 2001: 72).
Dalam
kapitalisme berlaku hukum mengeksploitasi tenaga kerja, baik laki-laki,
perempuan dan anak-anak dengan upah yang rendah. Hal ini tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang menjunjung tinggi equality antara laki-laki dan
perempuan. Upah atau gaji yang diberikan kepada mereka bukan karena status
kelaminnya, melainkan kualitas kerjanya, لها ماكسبت
وعليها مااكتسبت . Manusia
bekerja sesuai dengan kapasitas beban yang ada dalam diri manusia. Seluruh
hidupnya tidak hanya untuk bekerja, melainkan juga untuk beribadah, istirahat
dan bermasyarakat. Islam tidak hanya memperbolehkan dan mendorong segala bentuk
kerja produktif, tetapi Islam menyatakan bahwa bekerja keras bagi seorang
muslim adalah suatu kewajiban (Ibid.:18). Penghargaan kerja
keras ini sebagaimana tertera dalam hadis yang artinya:
“
Seandainya seseorang mencari kayu
bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia
meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“
Barangsiapa
yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan
tangannya sendiri, maka diwaktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya”
(H.R.
Thabrani dan Baihaqi)
فإذا فرغت
فانصب (الم نشرح:7)
Maka apabila
kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain”.(Q.S. Alam Nasyrah/94: 7)
Seseorang
yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian dia menyelesaikan
pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan
dimulainya pekerjaan yang baru dinamai faragh (Quraish Shihab: 1997: 6).
Kata fanshab dalam ayat tersebut berarti berat/letih, maka orang yang
bekerja itu pasti letih dan pekerjaan itu sesuatu yang berat, namun kalau
dikerjakan dalam rangka untuk mencari ridha dan ibadah kepada Allah, keletihan
dan beratnya pekerjaan tidak menjadi persoalan prinsip.
Kalau dalam
kapitalisme yang dipraktekkan di Amerika itu menimbulkan pola dan gaya hidup
yang mewah sehingga terjadi pemborosan, itu tidak dibenarkan dalam Islam. Islam
menekankan keseimbangan dalam membelanjakan harta benda, tidak boleh boros
tetapi tidak boleh kikir. Ada keseimbangan antara hak dan kewajiban,
kepentingan pribadi dan kepentingan umum, kebutuhan jasmani dan rohani. Selain
itu dalam kapitalisme walaupun ada unsur keadilan, tetapi kenyataan tidak adil
karena intervensi pemerintah yang begitu besar dalam mengarahkan roda
perekonomiannya. Islam sangat menganjurkan bertindak adil, dengan memberikan
kesempatan kepada umatnya untuk bekerja keras kemudian bertawakkal kepada
Allah. Hasil dari kerja keras itu sebagian didermakan kepada orang lain yang
membutuhkan. Dalam dunia bisnis, tenaga kerja harus diperhatikan
kesejahteraannya, makannya, kesehatannya sebagaimana perhatian manajer
kepada dirinya sendiri. Hal ini tidak terjadi dalam kapitalisme, karena tidak
mungkin buruh akan makan sekualitas majikannya. Sampai-sampai Nabi Muhammad Saw
menegaskan kewajiban majikan terhadap buruh-buruhnya atau karyawannya seperti
yang diturukan oleh Ali bin Abi Thalib yang artinya:
“
Wahai sekalian manusia! Ingatlah
Allah, Ingatlah Allah, dalam agamamu dan amanatmu sekalian. Ingatlah Allah,
Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang-orang yang berada di bawah
kekuasaanmu. Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka
pakaian seperti yang kamu pakai. Dan janganlah kamu bebani mereka dengan beban
yang yang mereka tidak sanggup menanggungnya. Sebab sesungguhynya mereka adalah
daging, darah dan makhluk seperti halnya diri kamu sekalian sendiri. Awas
barangsiapa bertindak dzalim kepada mereka, maka akulah musuhnya di hari
kiamat, dan Allah adalah Hakimnya”
Etika Bisnis
dalam Islam: Solusi yang Berkeadilan
Apakah dalam
bisnis diperlukan etika atau moral? Jawabannya sangat diperlukan dalam rangka
untuk melangsungkan bisnis secara teratur, terarah dan bermartabat. Bukanlah
manusia adalah makhluk yang bermartabat?
Islam
sebagai agama yang telah sempurna sudah barang tentu memberikan rambu-rambu
dalam melakukan transaksi, istilah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara
(Muhammad dan Lukman Fauroni, 2002: 29) yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai
pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha atau
perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tetap harus berada dalam
rambu-rambu tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang dapat
diteladani dalam berbisnis, misalnya:
1.
Kejujuran.
Sesuatu yang
dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang
bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang berhak
menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi
(Barmawie Umary, 1988: 44). Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan
sebenarnya, walaupun terasa pahit untuk disampaikan.
Sifat jujur
atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah, walaupun
disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah barang
mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan. Dalam dunia bisnis pada umumnya
kadang sulit untuk mendapatkan kejujuran. Laporan yang dibuat oleh akuntan saja
sering dibuat rangkap dua untuk mengelak dari pajak.
يأيها الذين
امنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين #
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang jujur” (Q.S. al-Taubah: 119)
والذين هم
لأماناتهم وعهدهم راعون #
“Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amant (yang dipikulnya) dan janjinya” (Q.S. al-Mu’minun: 8)
Rasulullah
Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok makanan. Beliau
masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukannya basah. Beliau
bertanya: “Apakah
ini hai penjual”? Dia berkata “Itu meletakannya di atas agar
orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan dia kelompok kami” (Quraish Shihab, Ibid.: 8).
2.
Keadilan
Islam sangat
mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang
atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan.
Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau
menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis
pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah
kepercayaan. Al-Qur’an
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara
yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan
takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل
اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
(الإسراء:35)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”. (Q.S. al-Isra’:
35)
Dalam ayat
lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 yang artinya:
“Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi”
Dari ayat di
atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka
mereka termasuk orang-orang yang celaka (wail). Kata ini menggambarkan
kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang
menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai
kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang
semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk
dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan,
ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.
3. Barang
atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya
maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan
tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini persoalan mu’amalah
dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram adalah persoalan
prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang yang haram, misalnya
alkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar dilarang dalam
Islam (Muhammad dan R.Lukman F, op.cit.: 136-138).
Di bawah ini
tabel tentang prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam, adalah sebagai
berikut:
Tabel 1
Prinsip Halal dan Haram
No.
|
Prinsip Halal dan Haram
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
Untuk membuat absah dan untuk melarang adalah hak Allah semata.
Melarang yang halal dan menbolehkan yang haram sama
dengan syirik.
Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat
najis dan melukai.
Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang haram adalah yang
dilarang.
Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
Yang haram terlarang bagi siapapun.
Keharusan menetukan adanya pengecualian.
|
Sumber: Lihat Muhammad dan R. Luman Faurani, Visi Al-Qur’an Tentang
Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 132. Lihat juga
Choril Fuad Yusuf, “Etika
Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3/V/1997, hlm. 16.
Secara
umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang
penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Nilai-nilai dasar etika bisnis dalam
Islam adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini
dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan
(transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas. Semua
ini akan lebih mudah dipahami dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 2
Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami
Nilai
Dasar
|
Prinsip
Umum
|
Pemaknaan
|
Tauhid
|
Kesatuan
dan Integrasi
Kesamaan
|
nIntegrasi antar semua bidang kehidupan, agama, ekonomi, dan
sosial-politik-budaya.
nKesatuan antara kegiatan bisnis dengan moralitas dan pencarian ridha
Allah.
nKesatuan pemilikan manusia dengan pemilikan Tuhan. Kekayaan (sebagai
hasil bisnis) merupakan amanah Allah, oleh karena itu didalam kekayaan
terkandung kewajiban sosial.
nTidak ada diskriminasi diantara pelaku bisnis atas dasar pertimbangan
ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama.
|
Khilafah
|
Intelektualitas
Kehendak
Bebas
Tanggungjawab
dan Akuntabilitas
|
nKemampuan kreatif dan konseptual pelaku bisnis yang berfungsi membentuk,
mengubah dan mengembangkan semua potensi kehidupan alam semesta menjadi
sesuatu yang konkret dan bermanfaat.
nKemampuan bertindak pelaku bisnis tanpa paksaan dari luar, sesuai dengan
parameter ciptaan Allah.
nKesediaan pelaku bisnis untuk bertang gungjawab atas dan mempertanggung
jawabkan tindakannya.
|
Ibadah
|
Penyerahan
Total
|
nKemampuan pelaku bisnis untuk mem bebaskan diri dari segala ikatan
penghambaan manusia kepada ciptaan nya sendiri (seperti kekuasaan dan
kekayaan).
nKemampuan pelaku bisnis untuk men jadikan penghambaan manusia kepada
Tuhan sebagai wawasan batin sekaligus komitmen moral yang berfungsi mem
berikan arah, tujuan dan pemaknaan terhadap aktualisasi kegiatan bisnisnya.
|
Tazkiyah
|
Kejujuran
Keadilan
Keterbukaan
|
nKejujuran pelaku bisnis untuk tidak mengambil keuntungan hanya untuk
dirinya sendiri dengan cara menyuap, menimbun barang, berbuat curang dan
menipu, tidak memanipulasi barang dari segi kualitas dan kuantitasnya.
nKemampuan pelaku bisnis untuk men ciptakan keseimbangan/moderasi dalam
transaksi (mengurangi timbangan) dan membebaskan penindasan, misalnya
riba dan memonopoli usaha.
nKesediaan pelaku bisnis untuk meneri ma pendapat orang lain yang lebih
baik dan lebih benar, serta menghidupkan potensi dan inisiatif yang
konstruktif, kreatif dan positif.
|
Ihsan
|
Kebaikan
bagi orang lain
Kebersamaan
|
nKesediaan pelaku bisnis untuk memberi kan kebaikan kepada orang lain,
misalnya penjadwalan ulang, menerima pengembalian barang yang telah dibeli,
pembayaran hutang sebelum jatuh tempo.
nKebersamaan pelaku bisnis dalam membagi dan memikul beban sesuai dengan
kemampuan masing-masing, kebersamaan dalam memikul tanggung jawab sesuai
dengan beban tugas, dan kebersamaan dalam menikmati hasil bisnis secara
proporsional.
|
Sumber: M.A. Fattah Santoso, “Etika Bisnis: Perspektif Islam”, dalam Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama
Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2001, hlm. 213-214.
4.
Tidak Ada
Unsur Penipuan
Penipuan atau al-tadlis / al-ghabn sangat dibenci oleh Islam, karena
hanya akan merugikan orang lain, dan sesungguhnya juga merugikan dirinya
sendiri. Apabila seseorang menjual sesuatu barang, dikatakan bahwa barang
tersebut kualitasnya sangat baik, kecacatan yang ada dalam barang disembunyikan,
dengan maksud agar transaksi dapat berjalan lancar. Tetapi setelah terjadi
transaksi, barang sudah pindah ke tangan pembeli, ternyata ada cacat dalam
barang tersebut. Berbisnis yang mengandung penipuan sebagai titik awal
kehancuran bisnis tersebut.
Penutup
Praktek
kapitalisme di Amerika Serikat yang mengeksploitasi tenaga kerja dengan upah
yang rendah adalah suatu tindakan yang tidak bermoral. Manusia harus dihargai
sesuai dengan kualitas kerja, dan mereka harus diletakkan sebagai mitra
perusahaan bahkan menjadi aset penting dari perusahaan. Manusia tidaklah tepat
kalau diletakkan sebagai unsur terkecil dari keseluruhan proses produksi,
sehingga mereka tidak dapat mengoptimalkan kemampuannya. Mereka hanya dapat
bekerja sesuai dengan jobnya masing-masing tanpa mengetahui pekerjaan lain yang
menjadi jaringan dari proses produksinyanya. Praktek semacam itu selain
dikritik oleh Marxis dan non-Marxis, juga oleh ajaran Islam. Islam tidak
membenarkan adanya kepemilihan individual yang mengakibatkan mereka menguasai
kekayaan. Islam juga tidak membenarkan kepemilikan bersama, karena hal ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Orang yang bekerja keras lebih berhak membelanjakan
kekayaan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Mereka yang malas
bekerja tidak akan mempunyai hak yang penuh atas harta benda orang lain, mereka
hanya berhak untuk menerima derma, infak, sadaqah dan zakat. Kepemilikan harta
benda mutlak hak Allah semata. Manusia hanya diberi wewenang untuk mengelola
dan menikmati sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt.
Islam
menawarkan etika bisnis yang berkeadilan dengan berlandaskan pada keteladanan
Rasulullah Saw dalam berbisnis, baik pada waktu sebelum diangkat menjadi Rasul
maupun setelah menjadi Rasul. Al-Qur’an memberikan nilai dasar dan
prinsip-prinsip umum dalam melakukan bisnis.
Mulai
sekarang dan selanjutnya Islam sangat tepat dijadikan rujukan dalam
berbisnis, karena didalamnya menjunjung tinggi prinsip kejujuran, keadilan,
kehalalan dan tanggungjawab yang betumpu pada nilai-nilai tauhid.
DAFTAR
PUSTAKA
- Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1985. Jakarta: Departemen Agama RI.
- Abdullah, Taufik (ed.),. 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
- Ahmad, Mustaq. 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
- Ebenstein, W. 1980. Todays Ism. New Jersey: Prentice Hall.
- Kunio, Yoshihara. 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
- Maryadi dan Syamsuddin (ed.),. 2001. Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta: Muhamamdiyah University Press.
- Mubyarto dkk.1991. Etos Kerja dan Kohesi Sosial. Yogyakarta: Aditya Media.
- Muhammad dan R.Lukman Faurani. 2002. Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah.
- Peterson, Wallace C. 1997. “Capitalism”, dalam Internet Microsoft, Encarta 97 Encyclopedia 1993-1996.
- Rahardjo, Dawam. 1995. “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II”, dalam Prisma, No. 2. Jakara: LP3ES.
- Richard T, De George. 1995. Business Ethics, Ed. 4. New Jersey: Printice Hall.
- Shihab, Muhammad Q. 1997. “Etika Bisnis dalam Wawasan Al-Qur’an”, dalam Ulumul Qur’an, No.3/Tahun V.
- Yusuf, Choirul F. 1997. “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3/Tahun V.
*) Dosen Fakultas
Agama Islam UMS
No comments:
Post a Comment