“Rasanya saya telah banyak memberi motivasi kepada para bawahan, namun mengapa sepertinya tidak ada hasilnya. Sepertinya, semua kok berjalan biasa-biasa saja. Tidak terlihat adanya dinamika kerja yang menggambarkan antusiasme dan kegembiraan?”, keluh seorang pejabat suatu kali tentang suasana kerja di kantornya.
Pernahkan Anda merasakan kondisi seperti itu? Mudah-mudahan tidak. Saya sangat berharap, Sahabat sekalian tidak mengalami situasi seperti itu.
Apa yang salah?…
Bicara motivasi, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang kekuatan/sesuatu yang ada pada atau di dalam diri seseorang yang mendorong dan mengarahkan perilakunya. Banyak para pakar telah menjelaskan hal ini, berikut adalah inti dari pemikiran mereka tentang motivasi:
“teori hierarki kebutuhan” – Abraham Maslow
“existence, relatedness, growth” – Clayton Alderfer
“sikap (teori x-y-z) ” – Mc Gregor
“outcome” – Victor Vroom
“achievement, affiliation, power” – McLelland
“internal-eksternal, jangka pendek-jangka panjang, sprint-marathon, temporer-permanen (motivator and hygiene factor)” – Frederick Herzberg
Saya yakin, pendapat mereka tidaklah asing bagi Sahabat sekalian. Oleh karena itu, kita akan bahas motivasi ini secara praktikal saja tanpa mengesampingkan pendapat para pakar tersebut.
Motivasi adalah sebuah pemahaman tentang apa yang membuat orang berfikir, merasa, dan bertindak seperti yang mereka lakukan. Jika Anda memahami apa yang dapat memotivasi para bawahan, maka sesungguhnya Anda memiliki alat yang paling ampuh untuk mengelola bawahan.
Ketika 70 orang psikolog di Amerika ditanya dalam suatu penelitian, “Apakah hal yang paling mendasar yang perlu diketahui seorang penyelia dalam upaya mengenal sifat-sifat manusia?”. Dua per tiga dari psikolog itu mengatakan bahwa jawabannya adalah motivasi.
Mengapa pertanyaan tersebut diajukan?
Dalam organisasi, kinerja organisasi tersebut sangat ditentukan oleh kualitas leadership yang dipraktikkan didalamnya. Tegasnya, kualitas leadership adalah salah satu faktor kunci bagi suatu organisasi untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Karena pemimpin tidak bisa melakukan sendirian segala hal yang diperlukan maka ia harus mampu menggerakkan orang lain di sekitarnya. Masalahnya, apa yang membuat orang lain mau melakukan apa yang pemimpin inginkan?
Mungkin, sebagai pemimpin Anda bisa memaksa bawahan untuk melakukan sesuatu. Tapi, yakinkah Anda bahwa pekerjaan yang dilakukan secara terpaksa dapat menghasilkan kinerja yang optimal dan dapat dilakukan secara berkesinambungan? Rasanya, tidak. Paksaan Anda hanya akan berdampak jangka pendek pada para bawahan. Hanya temporer saja sifatnya.
Untuk itu dibutuhkan sebuah pemahaman mengenai apa yang dapat membuat orang mau melakukan sesuatu dan hal-hal apa yang mampu memotivasi mereka. Disitulah, relevansi konteks pertanyaan yang diajukan kepada para psikolog itu. Anda butuh memahami sifat-sifat para bawahan dan para leader yang hebat memiliki pengetahuan tentang hal itu.
Setelah itu, apa yang harus diperhatikan agar kita sukses dalam memotivasi orang-orang di sekitar kita?
Hukum pertama adalah ‘You Should Go First!’. Tidak mungkin Anda sukses memotivasi orang untuk berkinerja, jika Anda sendiri bukanlah seseorang yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja. Temukanlah antusiame dalam bekerja. Dari mana sumber-sumber gairah kerja itu?
Jansen Sinamo menulis enam sumber gairah kerja sebagai berikut:
Pertama, hasil pekerjaan adalah buah yang manis yang menyukakan hati. Ketika pegawai gajian, misalnya, saat itulah sang pekerja menikmati buah pekerjaannya. Senyumnya lebih lebar, wajahnya lebih berseri-seri.
Kedua, pekerjaan menyediakan status sosial. Status sosial adalah basis hubungan-hubungan sosial dalam struktur komunitas kita. Tanpa status sosial yang jelas, orang sukar berhubungan dengan kita. Padahal, vitalitas dan kegembiraan kita yang wajar tidak mungkin terjadi tanpa relasi interpersonal yang sehat.
Ketiga, pekerjaan menyediakan identitas psikis yang penting. Ketika orang berkenalan, informasi pertama dan terpenting untuk dipertukarkan setelah nama adalah pekerjaan. Identitas psikis ini akan memberikan harga diri, rasa percaya diri, dan martabat sosial yang sehat.
Keempat, pekerjaan menyediakan aktivitas yang terstruktur, terpola, dan teratur sehingga tersedia kesempatan untuk tenggelam dalam keasyikan yang produktif. Saat kita bekerja, kita mengalami sense of power yang otentik. Kita merasa in-charge atas sesuatu, dan karenanya kita merasa senang dan gembira. Bandingkan dengan orang yang tidak berperan dan melakukan apa-apa. Sungguh tidak enak!
Kelima, pekerjaan menyediakan tantangan yang membuat kita merasakan sense of accomplishment. Bukankah kita bersuka cita ketika akhirnya tantangan yang berat berhasil diselesaikan? Sebuah suka cita yang lebih dari cukup untuk memuaskan jiwa kita.
Keenam, kerja secara khusus menyediakan aktivitas yang kreatif, artistik, dan estetik. Inilah sumber kegembiraan terbesar dalam bekerja karena kreativitas adalah energy mental positif yang mengalir dalam bentuk ide, gagasan atau metafora. Bersamaan mengalirnya energi kreatif ini mengalir pula perasaan senang, gembira, dan kelegaan yang amat besar.
Apa yang membuat Rafael Nadal dalam gambar di atas tampak termotivasi? Karena ia bertindak antusias. Ketika bertanding, ia membutuhkan sangat banyak energi. Bukankah mengepalkan tangan sembari berteriak seperti ekspresi dalam gambar itu justru mengeluarkan energi? Itu bukan masalah. Sebab, ekspresi yang dia lakukan itu akan melahirkan energi baru serta mempertebal keyakinan diri sehingga menambah motivasinya. Karenanya, bertindaklah dengan penuh antusiasme dalam pekerjaan agar Anda merasa antusias. Ini adalah cara kerja hukum tarik menarik (law of attraction).
Hukum kedua, mengapa kita memerlukan motivasi? Sebab, kegagalan memiliki tanda berupa lemahnya motivasi. Kita semua tidak ingin gagal. Tapi mengapa kita gagal? Salah satu penyebabnya bisa jadi karena kita tidak sungguh-sungguh dalam urusan/mengerjakan pekerjaan itu karena kurang termotivasi.
Mengapa motivasi kita lemah?
Mungkin karena kita tidak menginginkan urusan/pekerjaan itu. Karenanya, Stephen R Covey mengingatkan dalam urusan/pekerjaan apapun kita harus “put the end in mind”. Rumusannya sederhana, “Jika mereka tidak tahu apa yang diinginkan, jangan-jangan mereka memang tidak menginginkannya”. Maka dalam konteks itu, kegagalan adalah sebuah kewajaran.
Penyebab lainnya mungkin karena kita tidak terarah atau fokus. Pertanyaan yang bisa kita ajukan adalah “Jika kita tidak tahu dan tidak jelas apa yang perlu dilakukan, bagaimana kita bisa termotivasi untuk melakukannya?”
Terakhir, kita kurang termotivasi karena kita kurang percaya diri bahwa kita bisa mengerjakan urusan/pekerjaan itu dengan baik. Bukankah, “Jika kita tidak percaya bisa berhasil, mencoba pun kita tak akan melakukannya? Apalagi benar-benar dan sungguh-sungguh mengerjakannya”.
Nah, setelah hal-hal itu kita perhatikan jangan lupa bahwa seseorang akan termotivasi dalam suatu urusan/pekerjaan jika ia menyenangi dan menguasai hal itu.
Dalam sebuah survey, The Gallup Organization mengajukan pertanyaan kepada 198.000 pegawai yang bekerja di 7.939 unit bisnis di 36 perusahaan, “Berapa persen pegawai yang bekerja sesuai dengan kekuatan yang merupakan keahlian mereka?” Ternyata, jawabannya hanya 20%.
Padahal, alasan nomor satu yang membuat orang tidak menyukai pekerjaan mereka adalah karena mereka tidak bekerja sesuai bidang keahlian mereka. Jika para pegawai terus menerus diminta bekerja di bidang yang bukan keahlian mereka akibatnya mereka menjadi patah semangat, kurang produktif, dan akhirnya kehabisan tenaga. Salah siapa? “Biasanya itu adalah kesalahan pemimpin mereka,” kata John C. Maxwell dalam 360o Leader.
Memampukan pegawai adalah tugas penting seorang pemimpin. Sebab, jika pegawai harus mengerjakan suatu pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang tinggi sementara kapasitas dirinya rendah dapat dipastikan ia akan stress dan frustasi. Di sisi lain, seorang pegawai dengan kemampuan tinggi diberi pekerjaan dengan tingkat kesulitan rendah, ia akan merasa bosan dan merasa tidak dihargai. Untuk itu, seorang pemimpin harus pandai menyeimbangkan antara tantangan pekerjaan dengan kapasitas pegawainya.
Sayangnya, tidak semua pemimpin memiliki kewenangan dan bisa memberikan pekerjaan sesuai dengan keahlian para pegawainya. Seperti kita di Kementerian Keuangan misalnya, lebih sering pekerjaan dan pegawai yang kita dikelola bersifat given. Karenanya, pemimpin perlu memotivasi dan mengarahkan pegawai agar mampu membangun kekuatan kehendak untuk menyukai pekerjaan yang digelutinya. Seperti yang dikatakan Johann Wolfgang van Goethe, “Bukan mengerjakan apa yang kita suka, melainkan menyukai apa yang kita kerjakanlah yang membuat hidup kita bahagia.”
Terakhir, ada baiknya kita renungkan kalimat berikut:
“Great leaders recognize what motivates employee, match employee motivators to organization purposes, and help employees prioritize work that matters most”, demikian ungkap Dave Ulrich, seorang #1 Management Educator and Guru versi Majalah Business Week, dalam buku terbarunya The Why of Work: How Great Leaders Build Abundant Organization That Win (2010).
Semoga bermanfaat, Sahabat… Selamat berkarya untuk Indonesia!
No comments:
Post a Comment