Ada sebuah pertanyaan:
Apakah diperbolehkan bagi seseeorang yang sudah melaksanakan shalat tarawih & witir ( berjamaah dng imam krn ingin mendapat pahala shalat semalam suntuk), tapi masih melakukan shalat tahajud ( shalat malam setelah tidur)…tapi kemudian dia tidak melakukan shalat witir lagi…
daaxxxx @ yahoo . com
Kita akan melihat terlebih dahulu pembahasan “Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?“
Mengenai masalah ini, ada dua pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah. Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)
Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لْيَرْقُدْ …
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, …” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.
Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.
Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas. Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Pendapat yang Terkuat
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.
Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.
1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.
2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari’at.
Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.
Kesimpulan
Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.
Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).
Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).
Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).
Demikian pembahasan kami dalam rangka menjawab pertanyaan seputar shalat tarawih yang kami bahas.
Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat.
Rujukan:
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mawqi’ Al Islam, Asy SyamilahShahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 386-395, Al Maktabah At Taufiqiyah
***
Diselesaikan pada hari Jum’at Al Mubarok, 7 Ramadhan 1430 H di Panggang, Gunung Kidul
Diselesaikan pada hari Jum’at Al Mubarok, 7 Ramadhan 1430 H di Panggang, Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
No comments:
Post a Comment