Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu"(QS.At-Tahrim(66):6)
Libur, terutama bagi anak-anak pasti amat dinantikan kehadirannya. Karena dengan adanya libur berarti mereka bisa santai, tidak perlu dikejar-kejar bangun pagi hari, pergi sekolah dan mengerjakan berbagai tugas sekolah.
Apalagi yang namanya liburan panjang, liburan Lebaran misalnya. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia liburan ini biasanya digunakan untuk pulang kampung, bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dengan keluarga besar. Tempat-tempat hiburan dan obyek wisatapun biasanya menjadi ramai bukan kepalang.
Demikian pula dengan kami sekeluarga. Beberapa hari setelah hari Raya Iedul Fitri kamipun pergi meninggalkan kota untuk berlibur ke Jawa Timur. Tujuan utama kami adalah gunung Bromo.
Dengan menumpang pesawat kami berempat menuju Surabaya. Dari airport kami langsung menuju pulau Madura untuk melihat jembatan yang menghubungkan ke dua pulau tersebut. Namun sebelumnya kami sempat menengok masjid Jami’ Sunan Ampel yang terkenal itu.
Masjid ini didirikan oleh Raden Ahmad Rahmatullah, nama asli Sunan Ampel, pada tahun 1481 M. Menurut supir sekaligus guide yang mendampingi kami, masjid yang terletak di tengah perkampungan Arab ini telah lama menjadi salah satu daya tarik wisata religius.
Masjid yang memiliki gaya arsitektur khas jawa ini hingga saat ini masih terlihat terawat dengan baik. Bangunan ini sengaja dibangun dengan 5 pintu masuk dan diberi nama sesuai dengan rukun Islam. Yaitu pintu Syahadat, pintu Shalat, pintu Zakat, pintu Puasa dan pintu Haji.
Yang menarik, jalan menuju pintu Haji yang sengaja dibuat meniru Pasar Seng, di Mekah. Jadi memang tidak salah ketika saya berkomentar « Koq serasa di Pasar Seng ya « , sebelum saya diberi tahu bahwa itu adalah Pintu Haji. J .. ada-ada saja .. Sayangnya, Pasar Seng sekarang sudah dibongkar.
Sementara itu di sebelah Barat masjid berdiri kompleks pemakaman yang lumayan luas. Ternyata salah satu makam tersebut adalah makam sang pendiri masjid. Untuk memasuki wilayah yang dibatasi pagar besi ini para pengunjung diharuskan menanggalkan sandal/sepatu. Dari balik pagar ini tampak banyak orang sedang berkumpul dan berzikir bersama. L ..
Tiba-tiba saya teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca beberapa waktu lalu. Ketika itu para wali sedang membahas bagaimana caranya mengajarkan Islam ke masyarakat Jawa yang waktu itu memang belum mengenal ajaran Islam. Sunan Kalijagapun mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersesaji, seni wayang dll yang sejak lama telah menjadi kebiasaan masyarakat dimasuki rasa ke-Islam-an saja.
“Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari ? Bahwa adat isitadat dan upacara-upacara lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sebab kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah?”, tanggap Sunan Ampel terhadap usulan itu, ragu.
Sunan Kuduspun menjawab : “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, sebab menurut pelajaran agama Budha itu ada persamaannya dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya harus menolong kepada fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran tuan, saya mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari akan ada orang Islam yang akan menyempurnakannya”.
Jadi …. ??
Hal lain yang juga tak kalah menarik. Sejarah mencatat, Sunan Ampel adalah putra raja kerajaan Islam Champa, yang merupakan keturunan bangsa Han/Tionghoa dan bangsa Samarkand di Asia Tengah.
Sebuah pelajaran, bahwa Islam ternyata telah masuk daratan Cina sejak lama. Menurut catatan, delegasi pertama yang datang ke negri tirai bambu ini terjadi pada tahun ke 29 hijriyah. Utusan itu datang di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqash. Beliau diutus khalifah ke 3 Utsman bin Affan untuk menemui kaisar Cina, Yung Wei agar memeluk Islam. Namun demikian hubungan kedua negara besar ini sebelumnya telah terjalin erat yaitu melalui jalur perdagangan.
Sumber lain mengatakan bahwa Sunan Ampel adalah masih turunan Imam Bukhari, ulama hadits dari Samarkand, yang sangat terkenal itu. Champa sendiri adalah sebuah kerajaan di Kamboja. ( Sumber lain mengatakan Champa adalah suatu daerah di Aceh).
Sunan bernama asli Raden Ahmad Rahmatullah ini, pergi ke ibu kota kerajaan Majapahit dalam rangka menjenguk saudarinya yang dinikahi raja Majapahit ketika itu. Selanjutnya saudarinya itu meminta agar Sunan Ampel mengajarkan anak-anaknya tentang akhak dan moral yang baik.
Maka atas izin sang raja, Sunan Ampelpun mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya. Bahkan belakangan beliau mendapat izin untuk menyebarkan ajaran yang mulia ini kepada masyarakat Jawa yang ketika itu masih memeluk Hindu dan Budha.
Hasil didikan Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo-Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu: Main judi, Minum arak atau bermabuk-mabukkan, Mencuri, Madat atau menghisap madu dan Madon atau main perempuan yang bukan isterinya.
Setelah melaksanakan shalat zuhur dan puas menikmati masjid legendaris ini kamipun melanjutkan perjalanan. Yaitu menyeberangi jembatan Suramadu menuju pulau Madura. Tidak ada yang istimewa di tempat ini kecuali jembatan penghubung antara 2 pulau yang memiliki jalur khusus sepeda motor. Jarang ini .. ..
Selanjutnya kami langsung menuju Malang, dengan melalui Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Astaghfirullah .. Hanya itu yang dapat saya katakan. Lautan lumpur panas ini membentang luas di tepi jalan raya antara Surabaya dan Malang yang kami lalui. Setelah memarkir kendaraan kamipun menaiki tangga kayu setinggi kurang lebih 11 meter yang berdiri di sepanjang jalan raya tersebut.
Mulanya saya agak ragu naik. Karena sekelompok orang tampak berdiri di mulut tangga, menghalangi jalanan. Ternyata mereka adalah ‘penjaga’ lautan lumpur, yang secara ilegal, tentu saja, memungut bayaran tiap orang yang ingin melihat lokasi bencana. Tak urung tadinya mengomel juga mulut ini. « Dasar orang Indonesia, bisa aja cari celah untuk dapetin uang. Ini sih judulnya berdiri di atas penderitaan orang lain ».
Namun setelah melihat lokasi dan bertemu sejumlah orang yang menjajakan video urutan kejadian bencana, luluh juga hati ini. Mungkin mereka adalah korban bencana yang telah kehilangan mata pencarian, pikir saya trenyuh.
Bayangkan, di dalam lautan lumpur setengah kering seluas 800 heltar dan berkedalaman 11 meter tersebut terkubur belasan desa padat penduduk, puluhan rumah ibadah dan beberapa pabrik yang menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat. Sementara di kejauhan masih terlihat asap putih membumbung tinggi ke udara. Tampak bahwa ancaman semburan gas dan lumpur panas yang dimulai pada tahun 2006 itu belum bisa dihentikan.
« Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik ».(QS.Al-‘Araf(7):56).
Secara resmi pemerintah memang menetapkan bahwa apa yang terjadi di Porong adalah bencana nasional. Namun apapun alasannya, harus diakui bahwa bencana tersebut mulanya adalah kesalahan atau keteledoran manusia.
Suami saya bercerita, beberapa waktu setelah kejadian Porong, di suatu tempat di Amerika juga telah terjadi peristiwa yang mirip dengan bencana Porong. Namun dengan usaha yang disertai tehnologi dan dana yang demikian tinggi, akhirnya masalah tersebut dapat dengan cepat ditanggulangi. Tentu saja, dengan izin Yang Maha Kuasa.
Nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tidak ada gunanya. Senang tidak senang, itulah ketetapan yang harus dihadapi. Inilah cobaan berat yang harus dihadapi bangsa ini, masyarakat Porong dan sekitarnya, khususnya. Semoga kita dapat mengambil hikmahnya.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):45-46)
No comments:
Post a Comment