.quickedit{display:none;}
“KITA BERBISNIS,BERILMU,BERAMAL”

Saturday, April 30, 2011

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT SYARI'AT ISLAM YANG MULIA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2080

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda
untuk menyegerakan me-nikah sehingga mereka tidak berkubang dalam
kemak-siatan, menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali
keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah,
maka menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat memben-tengi dirinya."[1]

Anjuran Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk segera menikah
mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, di
antaranya:

[1]. Melaksanakan Perintah Allah Ta'ala.
[2]. Melaksanakan Dan Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa
Sallam.
[3]. Dapat Menundukkan Pandangan.
[4]. Menjaga Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
[5]. Terpelihara Kemaluan Dari Beragam Maksiat.

Dengan menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan jelek dan hina,
seperti zina, kumpul kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri dari
berbagai macam perbuatan keji, maka hal ini adalah salah satu sebab
dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara dua bibir
(lisan)nya dan di antara dua paha (ke-maluan)nya, aku akan jamin ia masuk ke
dalam Surga." [2]

[6]. Ia Juga Akan Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan
yang ditolong oleh Allah, yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya
dan pandangannya, orang yang berjihad di jalan Allah, dan seorang budak yang
ingin melunasi hutangnya (menebus dirinya) agar merdeka (tidak menjadi budak
lagi). Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah:
(1) mujahid fi sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya agar merdeka, dan
(3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehor-matannya." [3]

[7]. Dengan Menikah, Seseorang Akan Menuai Ganjaran Yang Banyak.
Bahkan, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwa
seseorang yang bersetubuh dengan isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau
bersabda,

"Artinya : ... dan pada persetubuhan salah seorang dari kalian adalah
shadaqah..." [4]

[8]. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya
Yaitu dengan terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir." [Ar-Ruum : 21]

Seseorang yang berlimpah harta belum tentu merasa tenang dan bahagia dalam
kehidupannya, terlebih jika ia belum menikah atau justru melakukan pergaulan
di luar pernikahan yang sah. Kehidupannya akan dihantui oleh kegelisahan.
Dia juga tidak akan mengalami mawaddah dan cinta yang sebenarnya,
sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam:

"Artinya : Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti
(yang terlihat dalam) pernikahan." [5]

Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat
belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang
sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam
perbuatan dosa dan laknat Allah. Terlebih lagi jika mereka hidup berduaan
tanpa ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan terjerumus dalam lembah
perzinaan yang menghinakan mereka di dunia dan akhirat.

Berduaan antara dua insan yang berlainan jenis merupakan perbuatan yang
terlarang dan hukumnya haram dalam Islam, kecuali antara suami dengan isteri
atau dengan mahramnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam:

"Artinya : angan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang
wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya." [6]

Mahram bagi laki-laki di antaranya adalah bapaknya, pamannya, kakaknya, dan
seterusnya. Berduaan dengan didampingi mahramnya pun harus ditilik dari
kepen-tingan yang ada. Jika tujuannya adalah untuk ber-pacaran, maka
hukumnya tetap terlarang dan haram karena pacaran hanya akan mendatangkan
kegelisahan dan menjerumuskan dirinya pada perbuatan-perbuatan terlaknat.
Dalam agama Islam yang sudah sempurna ini, tidak ada istilah pacaran meski
dengan dalih untuk dapat saling mengenal dan memahami di antara kedua calon
suami isteri.

Sedangkan berduaan dengan didampingi mahramnya dengan tujuan meminang
(khitbah), untuk kemudian dia menikah, maka hal ini diperbolehkan dalam
syari'at Islam, dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pula oleh
syari'at.

[9]. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah –dengan
izin Allah— ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset
yang sangat berharga karena anak yang shalih akan senantiasa mendo'akan
kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal bani Adam terus mengalir
meskipun jasadnya sudah berkalang tanah di dalam kubur.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga
hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo'akannya." [7]

[10]. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi
Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah menikahi
wanita-wanita yang subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.

Seorang yang beriman tidak akan merasa takut dengan sempitnya rizki dari
Allah sehingga ia tidak membatasi jumlah kelahiran. Di dalam Islam,
pembatasan jumlah kelahiran atau dengan istilah lain yang menarik (seperti
"Keluarga Berencana") hukumnya haram dalam Islam. Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam justru pernah mendo'akan seorang Shahabat beliau, yaitu
Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, yang telah membantu Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dengan do'a:

"Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya dari
apa-apa yang Engkau anugerahkan padanya." [8]

Dengan kehendak Allah, dia menjadi orang yang paling banyak anaknya dan
paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas, "Anakku,
Umainah, menceritakan kepadaku bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia
ada 120 orang pada waktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah." [9]

Semestinya seorang muslim tidak merasa khawatir dan takut dengan banyaknya
anak, justru dia merasa bersyukur karena telah mengikuti Sunnah Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Allah 'Azza wa Jalla akan
memudahkan baginya dalam mendidik anak-anaknya, sekiranya ia
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah 'Azza
wa Jalla tidak ada yang mustahil.

Di antara manfaat dengan banyaknya anak dan keturunan adalah:
1. Mendapatkan karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya dari
harta.
2. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
3. Sarana untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka akan saling menolong dalam ke-bajikan.
5. Mereka akan membantu meringankan beban orang tuanya.
6. Do'a mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah
tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan anaknya meninggal ketika masih kecil/belum baligh -insya
Allah- ia akan menjadi syafa'at (penghalang masuknya seseorang ke dalam
Neraka) bagi orang tuanya di akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi hijab (pembatas) dirinya dengan api Neraka, manakala
orang tuanya mampu men-jadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih atau
shalihah.
9. Dengan banyaknya anak, akan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum
muslimin ketika jihad fi sabilillah dikumandangkan karena jumlahnya yang
sangat banyak.
10. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bangga akan jumlah ummatnya
yang banyak.

Anjuran Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ini tentu tidak
bertentangan dengan manfaat dan hikmah yang dapat dipetik di dalamnya.
Meskipun kaum kafir tiada henti-hentinya menakut-nakuti kaum muslimin
sepuaya mereka tidak memiliki banyak anak dengan alasan rizki, waktu, dan
tenaga yang terbatas untuk mengurus dan memperhatikan mereka. Padahal, bisa
jadi dengan adanya anak-anak yang menyambutnya ketika pulang dari bekerja,
justru akan membuat rasa letih dan lelahnya hilang seketika. Apalagi jika ia
dapat bermain dan bersenda gurau dengan anak-anaknya. Masih banyak lagi
keutamaan memiliki banyak anak, dan hal ini tidak bisa dinilai dengan harta.

Bagi seorang muslim yang beriman, ia harus yakin dan mengimani bahwa
Allah-lah yang memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki bagi hamba-Nya.
Tidak ada yang luput dari pemberian rizki Allah 'Azza wa Jalla, meski ia
hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang sangat dalam atau burung yang
terbang menjulang ke langit. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan
tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)." [Huud : 6]

Pada hakikatnya, perusahaan tempat bekerja hanyalah sebagai sarana datangnya
rizki, bukan yang memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba Allah 'Azza wa
Jalla diperintahkan untuk berusaha dan bekerja, sebagai sebab datangnya
rizki itu dengan tetap tidak berbuat maksiat kepada Allah 'Azza wa Jalla
dalam usahanya mencari rizki. Firman Allah 'Azza wa Jalla:

Artinya : "Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia
menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya." [Ath-Thalaq : 4]

Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan apa pun yang membenarkan seseorang
membatasi dalam memiliki jumlah anak, misalnya dengan menggunakan alat
kontrasepsi, yang justru akan membahayakan dirinya dan suaminya, secara
medis maupun psikologis

APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK

Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan
Mahabijaksana meng-anugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan ada
pula yang tidak diberikan anak. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa
yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki,
atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan
mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa."
[Asy-Syuuraa : 49-50]

Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan
oleh Allah belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat
Allah 'Azza wa Jalla. Hendaklah ia terus berdo'a sebagaimana Nabi Ibrahim
'alaihis salaam dan Zakariya 'alaihis salaam telah berdo'a kepada Allah
sehingga Allah 'Azza wa Jalla mengabulkan do'a mereka.

Do'a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam
Al-Qur'an, yaitu:

"Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang shalih." [Ash-Shaaffaat : 100]

"...Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertaqwa." [Al-Furqaan : 74]

"...Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa
keturunan) dan Engkau-lah ahli waris yang terbaik." [Al-Anbiyaa' : 89]

"...Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar do'a." [Ali 'Imran : 38]

Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat
secara medis yang dibenarkan menurut syari'at, juga menkonsumsi obat-obat,
makanan dan minuman yang menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri sendiri
dengan ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan terus
menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas segala dosa. Serta
senantiasa berdo'a kepada Allah di tempat dan waktu yang dikabulkan. Seperti
ketika thawaf di Ka'bah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu sa'i,
ketik awuquf di Arafah, berdo'a di sepertiga malam yang akhir, ketika sedang
berpuasa, ketika safar, dan lainnya.[10]

Apabila sudah berdo'a namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua
itu ada hikmahnya. Do'a seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan
menjadi simpanannya di akhirat kelak.

Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya
ia senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya,
maka itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada
hamba-hambaNya, Mahabijaksana dan Mahaadil.

Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk
berbuat banyak kebaikan yang sesuai dengan syari'at, setiap hari membaca
Al-Qur-an dan menghafalnya, gunakan waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan
buku-buku lain yang bermanfaat, berusaha membantu keluarga, kerabat
terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak
yatim, dan sebagainya.

Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan baik yang dikerjakan dengan ikhlas
mendapat ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat, serta dikaruniai
anak-anak yang shalih.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II
Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/378, 425, 432), al-Bukhari
(no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i
(VI/56, 57), ad-Darimi (II/132), Ibnu Jarud (no. 672) dan al-Baihaqi
(VII/77), dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6474, 6807), dari Sahl
bin Sa'ad radhiyallaahu 'anhu.
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251), an-Nasa-i (VI/61),
at-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no. 2518) dan al-Hakim (II/160, 161),
dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu. Lihat al-Misykah (no. 3089).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam
al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no.
4155—at-Ta'liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr
radhiyallaahu 'anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1847), al-Hakim
(II/160), al-Baihaqi (VII/78) dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma. Lihat
Silsilah ash-Shahiihah (no. 624).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/26, 222), al-Bukhari (no.
1862) dan Muslim (no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari
Sahabat Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam
al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa'i (VI/251),
at-Tirmidzi (no. 1376, Ibnu Khuzaimah (no. 2494), Ibnu Hibban (no. 3016) dan
lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu. Lihat Irwaa'ul Ghaliil (no.
1580).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6334, 6344, 6378,
6380) dan Muslim (no. 2480, 2481).
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1982). Lihat Fat-hul
Baari (IV/228-229).
[10]. Untuk lebih jelasnya, bacalah buku penulis: "Do'a & Wirid".

No comments:

Post a Comment

Print Postingan